SALAH TANGKAP DAN KEKERASAN POLISI

Oleh: Saiful Arif

Dua orang, Mugi Hartanto dan Sapari, akhirnya dibebaskan oleh kepolisian setelah sebelumnya sempat ditangkap kepolisian karena dituduh terlibat dalam jaringan terorisme kelompok Poso. Publik menilai keduanya merupakan korban salah tangkap dari kepolisian.

Bukan kali pertama ini saja polisi dianggap melakukan salah tangkap, bukan juga hanya pada kasus terorisme, tapi juga pada kasus-kasus pidana umum lainnya. Isu salah tangkap ini menjadi isu yang selalu menjadi “trending topic” ketika membicarakan kinerja kepolisian.

Pada kasus terorisme, persoalan salah tangkap dianggap menjadi lebih serius karena kepolisian kerap melakukan operasi penangkapan terhadap orang-orang terduga pelaku atau terkait tindak pidana terorisme dengan menggunakan cara-cara kekerasan dan senjata api, yang tidak saja dapat mengakibatkan seseorang mengalami penderitaan fisik dan psikis, tapi juga meninggal dunia.

Tentu semua sepakat bahwa aksi terorisme maupun tindak kriminal lainnya harus diberantas oleh kepolisian, setuntasnya dan secepatnya. Namun di sisi yang lain, masyarakat sama sekali tidak bisa mentolerir apabila terjadi salah tangkap seperti yang dialami oleh Mugi Hartanto dan Sapari. Banyak yang menilai, salah tangkap tersebut merupakan salah satu indikator bahwa kepolisian telah bekerja secara tidak profesional dalam melakukan penangkapan.

Tanpa bermaksud "membela" institusi kepolisian, namun ada baiknya kita merenungkan kembali apa yang dimaksud dengan salah tangkap dalam perspektif hukum acara pidana. Hal ini penting, agar kita mendapatkan pemahaman yang  obyektif.

Penangkapan merupakan kewenangan yang dimilik oleh penyidik, dalam hal ini kepolisian, untuk mengekang kebebasan seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup guna kepentingan penyidikan.

Secara singkat, jika di dalam proses penyidikan ditemukan bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan atau terlibat suatu tindak pidana, maka proses hukum dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya yakni penyidikan, penuntutan hingga kemudian dilimpahkan ke pengadilan.

Sebaliknya, apabila dalam penangkapan tersebut tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang menunjukkan adanya keterlibatan maka dalam waktu 1 x 24 jam secara hukum orang tersebut harus dibebaskan. Pembebasan ini merupakan kewajiban hukum yang tidak dapat dihindari kepolisian, karena jika tidak dilakukan, justru polisi telah melanggar hak azasi manusia. Nah, pada titik inilah istilah salah tangkap muncul.

Masyarakat sering kali menterjemahkan salah tangkap tersebut dalam konotasi yang negatif, bahwa polisi telah bekerja secara tidak professional. Masyarakat beranggapan bahwa seseorang yang telah dilakukan penangkapan harus otomatis terbukti sebagai pelaku tindak pidana. Hal tentu tidak tepat, karena untuk menentukan terbukti atau tidak terbukti suatu dakwaan atau tuntutan bukan kewenangan polisi ataupun jaksa, melainkan  kewenangan majelis hakim.

Dalam perspektif hukum acara pidana, salah tangkap sesungguhnya adalah hal yang “lumrah” karena polisi (penyidik) hanya memiliki waktu 1 x 24 jam untuk segera menemukan bukti-bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan seseorang. Jika dalam waktu 1 x 24 jam bukti-bukti tersebut tidak ditemukan, maka orang tersebut harus dibebaskan.

Pada konteks itu-lah, mestinya kita harus bisa memaklumi jika polisi "boleh" melakukan salah tangkap. “Boleh” dalam pengertian sepanjang prosedur dan ketentuan-ketentuan tentang penangkapan telah terpenuhi.

Persoalannya adalah sering kali polisi, terutama densus 88, melakukan operasi penangkapan dengan cara-cara kekerasan seperti pemaksaan, penganiayaan, penyiksaan, hingga penembakan. Cara-cara itu tidak saja bisa mengakibatkan orang-orang yang belum terbukti secara sah melakukan atau terlibat dalam suatu tindak pidana mengalami trauma psikis, penderitaan fisik, hingga kematian.

Penggunaan cara-cara kekerasan ini-lah yang mesti ditentang, karena hal tersebut melanggar prinsip-prinsip hak azasi manusia, di mana setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat manusia. Cara kekerasan itu juga melanggar prinsip utama dalam penegakan hukum, yakni: praduga tidak bersalah.

Padahal jelas di dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 menyebutkan bahwa  penggunaan kekuatan dalam penegakan hukum hanya dapat dibenarkan dalam rangka untuk mencegah, menghindari, atau menghentikan perilaku orang yang mengancam keamanan atau membahayakan nyawa, barang milik atau kesucian orang lain.

Selain itu, penggunaan kekuatan dalam penegakan hukum harus memperhatikan prinsip keabsahan, kebutuhan dan proporsionalitas. Hal itu untuk memastikan bahwa penggunaan senjata api dilakukan dengan cara yang seimbang sehingga tidak menyebabkan penderitaan yang berlebihan.

Secara institusi, kepolisian telah memiliki komitmen yang besar untuk tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam penegakan hukum, kecuali terdapat kondisi-kondisi tertentu yang memaksa. Namun sayang, di lapangan masih sering terjadi kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dengan dalih penegakan hukum.

Pada akhirnya, Saya sepakat bahwa penegakan hukum tindak pidana terorisme tidak boleh melahirkan aksi terorisme baru yang dilakukan oleh kepolisian. Terorisme baru itu adalah penggunaan cara kekerasan dalam penegakan hukum.

(pida)

Postingan Populer