Dampak Spin Off Bagi Pekerja
Rumah sakit bisa didirikan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan swasta.
Rumah sakit yang didirikan oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari suatu instansi yang bertugas di bidang kesehatan, instansi tertentu atau lembaga teknis daerah dengan pengelolaan badan layanan umum atau badan layanan umum daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk rumah sakit swasta, harus berbentuk badan hukum yang
kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Pada umumnya kegiatan usaha ini dapat
dilihat dari akta pendirian badan hukum rumah sakit
tersebut.
Sebagaimana diketahui, terdapat beberapa bentuk badan hukum yang diatur dalam
perundang-undangan, diantaranya adalah, yayasan, perkumpulan
dan perseroan terbatas (PT).
Sebelum diundangkannya Undang-undang rumah sakit, banyak rumah sakit swasta yang
merupakan unit usaha dari suatu perusahaan (PT) yang
tidak secara khusus memiliki lingkup kegiatan di bidang rumah sakit. Misalnya, perusahaan BUMN yang memiliki
beberapa rumah sakit yang dikelola secara profit sebagai unit
usaha perusahaan BUMN
tersebut.
Dengan diundangkannya Undang-undang rumah sakit, maka rumah sakit-rumah sakit
demikian harus melakukan penyesuaian dengan membentuk badan hukum tersendiri,
terpisah dari perusahaan induknya. Secara bahasa praktek aksi korporasi ini disebut
sebagai spin off.
Hal inilah yang dapat mempengaruhi hubungan ketenagakerjaan.
Secara normative, Undang-undang ketenagakerjaan tidak menyinggung perubahan
hubungan ketenagakerjaan yang diakibatkan oleh spin off ini mengingat spin off
merupakan sesuatu yang relative baru. Namun secara prinsip dapat diambil dari
ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas. Walaupun harus diakui, undang-undang
Perseroan Terbatas juga tidak memberikan penjelasan yang
memadai berkaitan dengan spin off ini.
Prinsip tersebut adalah bahwa spin off tersebut dilakukan dengan
memperhatikan kepentingan karyawan (pekerja). Frase “memperhatikan
kepentingan pekerja” ini merujuk bahwa
aksi korporasi spin off
tidak boleh merugikan kepentingan pekerja, baik yang
menyangkut hak-hak normative serta hak-hak
ketenagakerjaan yang lain.
Berikut beberapa dampak dari aksi korporasi spinoff
terhadap aspek ketenagakerjaan, diantaranya :
a. Status ketenagakerjaan
Hubungan ketenagakerjaan tidak lagi terjalin antara pekerja dengan perusahaan induk,
melainkan antara pekerja dengan Badan Hukum hasil
spin off. Dalam hal ini Badan Hukum hasil spin off bertindak
sebagai pemberi kerja.
Terhadap pekerja kontrak (kalau ada) harus dilakukan pembaruan kontrak kerja yakni
antara pekerja yang bersangkutan dengan Badan Hukum baru
hasil spin off;
b. Perhitungan masa kerja
Masa kerja diperhitungkan sejak pertama kali pekerja tercatat sebagai pekerja
perusahaan induk. Hal ini tidak berlaku terhadap pekerja yang baru direkrut setelah
dilakukannya spin off;
c. Peraturan perusahaan
Dilakukanny aspin off, secara hukum Badan Hukum
hasil spin off
merupakan entitas hukum
baru yang sama sekali terpisah dengan perusahaan induk.
Dengan demikian Badan Hukum baru hasil spin off
wajib
membuat peraturan perusahaan baru yang disusun dengan
mengacu pada ketentuan UU Ketenagakerjaan dan UU Rumah Sakit;
d. PerjanjianKerja
Dilakukannya spin off, secara hukum
Badan Hukum hasil spin off merupakan entitas hukum baru yang sama sekali terpisah dengan perusahaan
induk. Dengan demikian Badan Hukum baru hasil spin off
wajib
membuat perjanjian kerja baru terhadap pekerja yang akan
direkrut yang disusun dengan mengacu pada ketentuan UU Ketenagakerjaan dan UU Rumah Sakit;
e. Perjanjian Kerja Bersama
Dilakukannya spin off, secara hukum
Badan Hukum hasil spin off merupakan entitas hukum baru yang sama sekali terpisah dengan perusahaan
induk. Dengan demikian Badan Hukum baru hasil spin off
wajib
membuat perjanjian kerja bersama baru yang disusun dengan
mengacu ketentuan UU Ketenagakerjaan dan UU Rumah Sakit;
f. Kesejahteraan karyawan
Bahwa perbuatan hukum spin off
yang dilakukan harus memperhatikan kepentingan pekerja, sehingga sedapat mungkin spin
off tersebut tidak mengakibatkan penurunan upah, kesejahteraan dan perlindungan
sebagaimana yang mereka terima di perusahaan induk.
Dalam hal badan hukum hasil spin off
menyatakan tidak mampu untuk memenuhi
standar upah, kesejahteraan dan perlindungan, maka dapat dilakukan negosiasi dengan pihak karyawan untuk
mencapai kesepakatan;
g. Serikat kerja
Sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan, membentuk dan menjadi anggota suatu
serikat pekerja merupakan hak pekerja. Namun demikian, serikat pekerja yang
tercatat sebagai serikat pekerja di perusahaan induk (jika ada) tidak dapat
melaksanakan kegiatan di lingkungan badan hukum hasil spin
off, melainkan harus membentuk suatu serikat pekerja baru
yang tercatat secara resmi di Dinas Ketenagakerjaan, sebagai serikat pekerja di badan
hukum hasil spin
off; (Saiful Arif)
(tenk)