SANTUNAN DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN
Selain itu, terdapat persoalan yang kini juga mulai marak yakni terhadap lahan yang secara hukum adalah milik negara tapi secara fisik lahan tersebut telah dikuasai dan dimanfaatkan masyarakat berpuluh-puluh tahun lamanya. Terlebih, diatas tanah tersebut telah berdiri bangunan atau tanaman milik masyarakat.
Bagaimana hukum menyikapi hal ini ?
Secara normatif positif, Perpres No. 36 Tahun 2005 Jo Perpres No. 65 Tahun 2006 mengatur bahwa
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan pengadaan tanah dengan
cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan
pencabutan hak atas tanah.
Artinya pemberian ganti rugi hanya diberikan
kepada masyarakat yang memang jelas-jelas sebagai pemilik tanah, bangunan,
tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Untuk tanah yang
diidentifikasi sebagai tanah negara, bukan bagian yang diatur dalam peraturan
ini.
Persoalan muncul ketika banyak pembangunan banyak
dilakukan di lahan-lahan milik negara tapi secara fisik dikuasai, dikelola,
dirawat dan dimanfaatkan oleh masyarakat berpuluh-puluh tahun. Tentu tidak
mudah untuk mengusir begitu saja masyarakat yang berpuluh-puluh tahun
menggantungkan hidup dari lahan ini.
Muncullah kebijakan-kebijakan yang berbasis
kemanusiaan dengan memberikan santunan kepada masyarakat yang secara factual
dapat membuktikan bahwa ia telah menguasai, mengelola, merawat dan memanfatkan
lahan berpuluh-puluh tahun, bahkan secara turun temurun.
Bahwa dalam konteks historical perundang-undangan di Indonesia, ketentuan tentang
pemberian uang santunan terhadap tanah negara (tanah tanpa sesuatu hak) pernah
diatur dalam Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1994 Pasal 20, yakni :
1)
Kepada yang memakai
tanah tanpa sesuatu hak tersebut di bawah ini diberikan uang santunan :
a.
Mereka yang memakai
tanah sebelum tanggal 16 Desember 1960 dimaksud Undang-undang Nomor 51 Prp.
Tahun 1960;
b.
Mereka yang memakai
tanah bekas hak barat dimaksud dalam Pasal 4 dan 5 Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 1979.
c.
Bekas pemegang hak
guna bangunan yang tidsak mmemenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 17 angka
3 huruf b;
d.
Bekas pemegang hak
pakai yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 17 angka 4 huruf c.
2)
Besarnya uang santunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Panitia menurut pedoman
yang ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya
Dalam konteks yang berbeda, pemberian santunan juga diatur dalam Undang-undang No 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan Pasal 35 dan Undang-undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Pasal 58 Ayat 3. Artinya secara norma, pemberian santunan atau ganti rugi
terhadap tanah yang terkena proyek kepentingan umum, dapat dibenarkan menurut
hukum.
Pasca berlakunya Perpres No. 36 Tahun 2005 Jo
Perpres No. 65 Tahun 2006, ketentuan pemberian santuan tidak lagi diatur, namun
pemberian santunan tidak secara eksplisit dilarang. Artinya, sepanjang
pemberian santunan terhadap tanah negara tersebut dilakukan untuk kepentingan
umum dan diselenggarakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip penyelenggaran
pemerintahan yang baik, hal tersebut dapat dikualifikasi sebagai kewenangan
bebas/diskresi pemerintah daerah.
Prinsip yang berlaku dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi pemerintahan adalah azas legalitas pemerintahan (legaliteitbeginsel van bestur) yaitu wetmatiggeheid van bestur yang artinya tindakan pemerintahan harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, banyak terjadi
kendala karena perubahan sangat cepat dan pemberian layanan masyarakat tidak
dapat ditunda, sementara terkadang dasar hukum dalam peraturan
perundang-undangan tidak mengatur atau belum ada aturannya.
Kesenjangan antara azas legalitas dan realitas
yang dihadapi oleh pemerintah, maka pemerintah diberi kewenangan diskresi atau freies ermessen yaitu salah satu sarana
yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi
negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada peraturan
perundang-undangan (Marcus Lukmana,
Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan
Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum
Tertulis Nasional, Disertasi, Universitas Padjajaran, 1996, sebagaimana dikutip
oleh Ridwan HR dalam Hukum Administrasi Negara, 2002 h. 177). (Saiful Arif)
(umu)
(umu)