PROBLEM HUKUM PELARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR

A.    FAKTA HUKUM
1.       Bahwa Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008, pada pokoknya menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat;

2.      Bahwa telah terjadi insiden kemanusiaan di Cikeusik Jawa Barat terkait dengan penolakan keberadaan Ahamadiyah di Indonesia;

3.      Bahwa DPRD Jawa Timur mengeluarkan surat kepada Gubernur Jawa Timur No: 300/2043/060/2011 tertanggal 23 Februari 2011 pada pokoknya meminta agar menetapkan larangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur;

4.      Bahwa Gubenur Jawa Timur mengeluarkan SK No: 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur.

B.    ISU HUKUM
Apakah substansi SK Gubernur Jawa Timur No: 188/94/KPTS/013/2011 tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip penghormatan HAM dan supremasi hukum?

C.    DASAR HUKUM YANG DIGUNAKAN
1.       UUD 1945;

2.      UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama;

3.      UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia;

4.      UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;

5.      UU No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Sipil Politik;

6.      PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kab/kota;

7.      Peraturan Bersama Menteri agama dan Menteri Dalam Negeri No 9/8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat;

8.     Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Ahmadiyah;

9.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

D.   ANALISIS DASAR-DASAR HUKUM
1.       Bahwa menurut UUD 45 pasal 28E disebutkan bahwa setiap setiap orang bebas memeluk  agama dan  beribadat  menurut agamanya. Selanjutnya, berdasarkan pasal 28J (1), penerapan kebebasan beragama yang diatur dalam pasal 28E tersebut, harus dilakukan dengan menghormati hak azasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

2.      Namun dengan demikian pembatasan atas kebebasan beragama tersebut tidak dapat dilakukan dengan melawan hukum. Pasal 28J (2) menyebutkan bahwa pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dengan pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang. Artinya, konstitusi menentukan pembatasan atas kebebasan beragama hanya dapat dilakukan dengan instrumen hukum berupa UNDANG-UNDANG;

3.      Bahwa UUD 45 pasal 29 menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing. Jaminan atas kemerdekaan memeluk agama tersebut bersifat mutlak dan tidak dapat dikurangi dalam hal apapun;

4.      Bahwa sejalan dengan UUD 45, UU 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 73 menyebutkan bahwa hak azasi manusia hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang. Pembatasan oleh undang-undang tersebut hanya dapat dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa;

5.      Bahwa UU No 39 Tahun 1999 pasal 74 menegaskan bahwa tidak satu ketentuan pun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan, atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini;

6.      Bahwa Undang-undang No: 1/PNPS/1965 mengatur perihal pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang sepenuhnya berisi tentang hal-hal yang bersifat pidana dan pemidanaan yang merupakan domain dari Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung. Oleh karenanya UU ini bukan domain kepala daerah, atau dalam hal ini adalah Gubernur Jawa Timur;

7.      Bahwa berdasarkan UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa pemeriintah daerah (provinsi atau kab/kota) menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya kecuali urusan pemerintah pusat, yakni yang berkaitan dengan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi moneter dan fiskal nasional dan agama;

8.     Bahwa UU No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Sipol pasal 18 ayat 1 dan 2, jelas menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak tersebut mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

9.      Bahwa sejalan dengan UUD 45 dan UU No 39 Tahun 1999, dalam Kovenan Sipol juga mengatur tentang pembatasan hak berkeyakinan dan bergama hanya dapat oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan YANG DIPERLUKAN untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain;

10.  Bahwa memperhatikan UUD 45, UU 39 Tahun 1999 dan Kovenan Sipol, pembatasan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan hanya dapat dilakukan dengan 2 hal, yakni: pertama, menggunakan instrumen undang-undang, dan kedua, diperlukan untuk alasan keamanan, ketertiban, kesehatan, moral masyarakat atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain;

11.   Kovenan Sipol pasal 4 sangat menegaskan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak yang tidak dapat dikurangi atas dasar alasan apapun, bahkan dalam kondisi darurat sekalipun;

12.  Bahwa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9/8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat, pasal 3 menyebutkan bahwa kewajiban untuk pemeliharaan kerukunan umat beragama di wilayah provinsi adalah berada pada gubernur;

13.  Bahwa pada Pasal 5 menjelaskan lebih detail tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh Gubernur, yakni meliputi:
a.      Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di Provinsi;
b.      Mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di Provensi dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c.       Menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama; dan
d.      Membina dan mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama.

14.  Memperhatikan pasal-pasal dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9/8 Tahun 2006 tersebut, tidak ada satupun ketentuan yang dapat dijadikan landasan untuk melakukan pengurangan, menghalang-halangi atau melarang hak dan kebebasan beragama. Dalam PerBer ini, gubernur diberikan kewajiban menjadi semacam fasilitator dan/atau harmonisator dan/atau mediator dialog antar umat beragama agar tercipta suatu kerukunan;

15.   Bahwa di Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9/8 Tahun 2006 tersebut juga memandatkan pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan;

16.  Bahwa FKUB tersebut mempunyai tugas untuk:
a.      Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b.      Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c.       Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dan
d.      Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.

17.   Bahwa memperhatikan keseluruhan substansi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9/8 Tahun 2006, serta memperhatikan kedudukan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9/8 Tahun 2006 dalam sistem perundang-undangan Republik Indonesia, PerBer tersebut hanya bersifat mengatur (meregulasi) hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kebebasan beragama dan berkeyakinan agar tercipta kerukunan umat beragama. PerBer ini tidak dapat diartikan dan dipergunakan untuk mengurangi kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negara, karena di dalam struktur perundang-undangan yang lebih tinggi telah mengakui bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak fundamental yang sama sekali tidak boleh dan tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun;

E.    ANALISA FAKTA DAN HUKUM
1.       Bahwa SK Gubernur Jawa Timur No: 188 ini berisi tentang ketentuan-ketentuan kebebasan beragama dan berkeyakinan suatu ajaran agama, dalam hal ini adalah larangan-larangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur, sehingga secara langsung SK Gubernur Jawa Timur No: 188 ini telah mengurangi dan membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan penganut Ahmadiyah di Jawa Timur;

2.      Bahwa SK Gubernur Jawa Timur No: 188 ini mengacu pada beberapa peraturan perundang-undangan, yakni UUD 45, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Sipil Politik. Bahwa di dalam perundang-undangan tersebut sangat tegas mengatur bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak yang fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam hal apapun. Pembatasan hanya dapat dilakukan dalam hal-hal tertentu saja, dan harus menggunakan isntrumen hukum berupa undang-undang. SK Gubernur Jawa Timur No: 188 ini jelas-jelas memiliki kedudukan yang jauh lebih rendah dari undang-undang dalam struktur perundang-undangan di Indonesia, sehingga tidak dapat digunakan untuk melakukan pembatasan terhadap implentasi kebabasan beragama dan berkeyakinan;

3.      Memperhatikan bagian konsideran dari SK Gubernur Jawa Timur No: 188, bahwa SK ini dikeluarkan salah satunya adalah dalam rangka memelihara kerukunan antar umat beragama di Jawa Timur. Melihat konsideran ini dapat diduga bahwa SK ini dikeluarkan dalam rangka melaksanakan kewajiban hukum yang dimandatkan dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9/8 Tahun 2006. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9/8 Tahun 2006 adalah ketentuan hukum yang bersifat meregulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan agar tercipta kerukunan umat beragama, bukan untuk mengurangi apalagi melakukan pelarangan-pelarangan;

4.      Memperhatikan pasal demi pasal dalam SK Gubernur Jawa Timur No: 188 ini, SK ini justru berisi tentang larangan-larangan terhadap sebuah aliran keagamaan, dalam hal ini Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), untuk melakukan hal-hal mana yang disebutkan dalam SK tersebut, diantaranya: menyebarkan ajaran, memasang papan nama, menggunakan atribut Ahmadiyah dan seterusnya;

5.      Bahwa aktivitas-aktivitas yang dilarang dalam SK Gubernur Jawa Timur No: 188 ini adalah terhadap aktivitas eksternum atas kebebasan beragama dan berkeyakinan penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dimana aktivitas-aktivitas yang dilarang tersebut sama sekali tidak berkaitan atau mengganggu atau mengancam keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Tidak semestinya aktivitas penyebaran, pemasangan papan nama dan menggunakan atribut JAI dilarang, apalagi hanya menggunakan instrumen Surat Keputusan;

6.      Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9/8 Tahun 2006 dan UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, SK tersebut jelas-jelas telah melebihi kewenangan yang dimiliki oleh Gubernur Jawa Timur;

7.      Bahwa SK Gubernur Jawa Timur No: 188 ini sama sekali tidak menyinggung peran FKUB dalam upaya menciptakan kerukunan umat beragama. Padahal di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9/8 Tahun 2006, FKUB merupakan forum yang strategis dalam upaya melahirkan kebijakan-kebijakan yang dapat menciptakan kerukunan umat beragama. Tanpa menyebutkan peran FKUB, menunjukkan tiga hal: yakni: pertama, Gubernur Jawa Timur secara sengaja tidak melibatkan FKUB. Kedua, FKUB sama sekali tidak bekerja/berfungsi. Ketiga, Gubernur Jawa Timur dan FKUB tidak pernah melakukan upaya-upaya fasilitasi, harmonisasi dan mediasi sebagaimana mandat dalam PerBer;

8.     Memperhatikan pula pada bagian konsideran huruf a, menyebutkan bahwa SK ini dikeluarkan setelah Gubernur Jawa Timur berdasarkan instruksi dari Ketua DPRD Jawa Timur yang menerbitkan surat tentang Terciptanya Stabilitas Keamanan di Jawa Timur, yang memandang perlu menetapkan larangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur. Hal tersebut, menunjukkan bahwa pelampauan kewenangan juga dilakukan oleh lembaga legislatif, dalam hal ini adalah DPRD Jawa Timur;

9.      Memperhatikan struktur dan substansi SK Gubernur Jawa Timur No: 188 ini dapat dikualifikasi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KATUN), karena berisi tentang:
a.      Berupa penetapan tertulis;
b.      Diikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, dalam hal ini adalah Gubernur Jawa Timur;

c.       Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d.      Bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

F.    KESIMPULAN
1.       SK Gubernur Jawa Timur No: 188 secara substansi melanggar ketentuan hukum, dalam hal ini adalah UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999, UU No 11 Tahun 2005 dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9/8 Tahun 2006;

2.      SK Gubernur Jawa Timur No: 188 secara prosedural melampaui kewenangan hukum yang dimiliki Gubernur Jawa Timur, dalam hal ini UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9/8 Tahun 2006;

3.      SK Gubernur Jawa Timur No: 188 secara administrasi melanggar atau bertentangan  bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut; dan/atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.

G.   REKOMENDASI
1.         Melakukan desakan secara intensif, masif dan kontinyu kepada Gubernur Jawa Timur agar mencabut SK Gubernur Jawa Timur No: 188;

2.        Melakukan upaya hukum gugatan TUN di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), untuk membatalkan SK Gubernur Jawa Timur No: 188.


Surabaya, 2 Maret 2011

(Saiful Arif)
(umu)

Postingan Populer