PELARANGAN AKTIVITAS AHMADIYAH, GUBERNUR MELAMPAUI KEWENGAN
Konflik penyesatan ajaran Ahmadiyah telah berlangsung puluhan tahun yang lalu, namun sepertinya menemukan puncaknya pasca terjadinya bentrok Cikeusik yang mengakibatkan terbunuhnya 3 orang dan puluhan luka-luka beberapa waktu yang lalu. Ke depan, tidak ada yang menjamin tragedi Cikeusik tersebut menjadi bentrok terakhir yang melibatkan kelompok penentang Ahmadiyah dengan penganut Ahmadiyah.
SKB 3 Menteri No 3 Tahun 2008 dianggap masih belum menjawab persoalan
hukum, karena substansinya yang tidak secara tegas melarang keberadaan
Ahmadiyah. Hal ini mendorong beberapa kepala dearah untuk mengambil ‘inisiatif’
kebijakan untuk melakukan pelarangan-pelarangan terhadap aktivitas Ahmadiyah,
dengan dalih semata-mata untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayahnya.
Dengan alasan itulah Gubernur Jawa Timur mengeluarkan Surat Keputusan No:
188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) di Jawa Timur, yang pada pokoknya melarang aktivitas Jemaat Ahmadiyah
Indonesia untuk menyebarkan ajaran, memasang papan nama, menggunakan atribut
Ahmadiyah dan seterusnya. Kebijakan ini pula yang menginspirasi kepala daerah
di daerah lain untuk melakukan pelarangan terhadap Ahmadiyah.
Pertanyaannya, apakah substansi SK Gubernur Jawa Timur tersebut telah
sesuai dengan prinsip-prinsip penghormatan HAM dan supremasi hukum?
Konteks HAM
Di dalam konstitusi, disebutkan bahwa setiap setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Jaminan atas
kemerdekaan memeluk agama tersebut bersifat mutlak dan tidak dapat dikurangi
dalam hal apapun. Namun, pada pasal 28J (1), penerapan kebebasan beragama
tersebut, harus dilakukan dengan menghormati hak azasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Artinya, konstitusi kita memang membenarkan dilakukannya suatu pembatasan
terhadap kebebasan beragama. Namun demikian, pembatasan atas kebebasan beragama
tersebut tidak dapat dilakukan dengan melawan hukum. Pasal 28J (2) menyebutkan
bahwa pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dengan pembatasan yang
ditetapkan dalam undang-undang. Artinya, konstitusi menentukan pembatasan atas
kebebasan beragama hanya dapat dilakukan dengan instrumen hukum berupa undang-undang.
Linear dengan ketentuan itu, UU HAM menegaskan bahwa hak azasi manusia
hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, serta dilakukan
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan
kepentingan bangsa.
Dengan redaksional yang sedikit berbeda, Kovenan Internasional Sipil
Politik (yang telah disahkan dalam UU No 11 Tahun 2005) menyebutkan bahwa
setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak
tersebut mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama
dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan
pengajaran.
Kovenan Internasional Sipil Politik menentukan pembatasan hak berkeyakinan
dan bergama hanya dapat oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk
melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak
dan kebebasan mendasar orang lain.
Frase ‘yang diperlukan’ penting untuk digaris-bawahi, bahwa pembatasan
terhadap kebabasan beragama dan berkeyakinan hanya dapat dilakukan dengan
pertimbangan yang seksama, apakah pembatasan yang dilakukan tersebut diperlukan
dan berkaitan langsung dengan perlindungan keamanan, ketertiban, kesehatan,
atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Sehingga, paling tidak terdapat 2 (dua) problem besar atas SK Gubernur
tersebut, yakni:
Pertama, substansi pelarangan yang diberikan Gubernur Jawa Timur
merupakan bentuk pembatasan terhadap aktivitas-aktivitas eksternum yang
dimiliki Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang merupakan bagian dari kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Tidak sepatutnya pelarangan dilakukan dengan
menggunakan instrumen hukum Surat Keputusan, yang secara struktur
perundang-undangan di Indonesia memiliki kedudukan jauh lebih rendah dari
undang-undang.
Kedua, tidak ada satupun argumentasi yang dapat membuktikan
bahwa aktivitas-aktivitas yang dilarang dalam SK tersebut telah/akan mengancam
atau mengganggu keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau
hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Ancaman terhadap keamanan dan ketertiban justru muncul dari kelompok
penentang Ahmadiyah, yang beberapa kali terbukti menunjukkan sikap-sikap
reaktif menjurus kasar, sehingga tidak semestinya pelarangan atau pembatasan
diberikan kepada penganut Ahmadiyah.
Konteks Otonomi Daerah
Di dalam UU Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa pemerintah daerah
(provinsi atau kab/kota) menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya kecuali urusan pemerintah pusat, yakni yang berkaitan dengan
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi moneter dan fiskal nasional
dan agama.
Kewenangan pemerintah pusat
dalam urusan agama diantaranya meliputi memberikan pengakuan terhadap
keberadaan suatu agama dan menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan
keagamaan. Kebijakan untuk melarang atau membatasi aktivitas keagamaan
merupakan bagian dari penyelenggaraan kehidupan keagamaan, sehingga mutlak
merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Selanjutnya, di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No: 9/8 Tahun 2006 menyebutkan bahwa kewajiban untuk pemeliharaan
kerukunan umat beragama di wilayah provinsi adalah berada pada Gubernur, dimana
Gubernur diantaranya memiliki kewajiban untuk memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat serta menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama.
Tidak ada satupun ketentuan dalam Perber tersebut yang dapat dijadikan
legitimasi untuk melakukan pengurangan, pembatasan, penghalang-halangan atau
pelarangan hak dan kebebasan beragama, baik secara internum maupun eksternum.
Dalam PerBer ini, Gubernur hanya diberikan kewajiban menjadi semacam
fasilitator, harmonisator dan/atau mediator dialog antar umat beragama agar
tercipta suatu kerukunan di wilayahnya.
Memperhatikan substansi SK
Gubernur No: 188, yang berisi tentang pelarangan aktivitas-aktivitas Jemaat
Ahmadiyah, yang secara langsung merupakan bagian dari kebabasan beragama dan
berkeyakinan, maka SK tersebut telah melampaui kewenangan pemerintahan, dimana
urusan penyelenggaraan kehidupan keagamaan merupakan kewenangan pemerintah
pusat.
Di dalam Perber No: 9/8 Tahun
2006, pun tidak memberikan mandat kepada Gubernur Jawa Timur untuk dapat
melakukan pembatasan dan/atau pelarangan terhadap aktivitas-aktivitas
keagamaan, dalam hal ini terhadap aktivitas-aktivitas Jemaat Ahmadiyah
Indonesia di Jawa Timur. Sehingga SK Gubernur No: 188 ini telah melampaui
kewenangan (ultra vires).
Domain PTUN
Memperhatikan bentuk dan substansi SK Gubernur Jawa Timur No: 188 ini dapat
dikualifikasi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KATUN), karena berisi
tentang: pertama, berupa penetapan tertulis. Kedua, diikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
dalam hal ini adalah Gubernur Jawa Timur.
Ketiga, berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara. Keempat, bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Substansi SK Gubernur Jawa Timur No: 188 secara administrasi telah
melanggar atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau setidak-tidaknya tidak mempertimbangkan
semua kepentingan dan hak konstitusional Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sehingga
hak fundamentalnya terlanggar oleh keputusan ini.
Maka dalam hal ini, SK Gubernur No:188 ini sangat layak
untuk diuji atau digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, untuk
menghindari kerusakan sistem ketatanegaraan yang lebih jauh dalam hal
perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Terlebih SK Gubernur Jawa Timur
ini telah memberikan ‘inspirasi’ bagi kepala daerah lain untuk melakukan duplikasi
pelarangan-pelarangan terhadap Ahmadiyah, lebih luas terhadap kebebasan
beragama dan berkeyakinan. (Saiful Arif)
(umu)