OUTSOURCING MEMBABI-BUTA
Sejak diatur di UU No 13 Tahun 2003, outsourcing banyak mendapat sorotan
dari banyak pihak, terutama dari kalangan pekerja. Bagi pekerja, isu outsourcing menjadi isu yang sering diangkat dalam setiap aksi
buruh. Tentangan ini merupakan bentuk penolakan mereka terhadap
sistem outsourching yang diyakini merupakan agenda pemilik modal yang akan
banyak merugikan pekerja.
Untuk menunjukkan keberpihakannya, Menteri Tenaga Kerja untuk kesekian
kalinya menyatakan akan segera mengevaluasi penerapan sistem outsourching. Bahkan
pada peringatan hari buruh tahun ini, Menteri menyatakan akan mempertimbangkan
untuk menghapuskan sistem outsourcing agar tercipta relasi industrial yang
berkeadilan. Namun nampaknya, seperti biasanya, tidak ada upaya riil yang dapat
dijadikan dasar pelaksanaan komitmen tersebut.
Bagi perusahaan, sistem
outsourcing sangat menguntungkan karena perusahaan dapat fokus pada kompetensi
pokoknya, melakukan usaha secara lebih efisien dan efektif, meningkatkan
fleksibilitas sesuai dengan perubahan situasi usaha, mengontrol anggaran secara
lebih ketat dengan biaya yang sudah diperkirakan, menekan biaya investasi untuk
infrastruktur internal dan seterusnya.
Pertanyaannya, apakah untuk meningkatkan daya saing usaha, harus dilakukan
dengan mengorbankan pekerja ?
SourcingLine, satu lembaga riset yang berbasis di Washington DC melansir
data Top outsourcing Countries tahun 2010, dengan indeks mencapai 6,9,
Indonesia menduduki peringkat 2 dunia di bawah India.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan pasar yang sangat
potensial terhadap investasi di bidang outsourcing mengingat Indonesia memiliki
keunggulan-keunggulan, seperti SDM melimpah, regulasi longgar, penegakan hukum
yang lemah dan seterusnya.
Kegagalan Regulasi
Secara regulasi, outsourcing atau tenaga kontrak dapat diterapkan secara
terbatas hanya pada bidang-bidang pekerjaan pendukung. Sayangnya tidak ada
penjelasan yang memadai tentang apa yang dimaksud sebagai pekerjaan pendukung.
Hal ini membuat muncul banyak interpretasi di level pelaksanaan, dimana banyak perusahaan
memiliki definisi sendiri tentang ruang lingkup pekerjaan utama dan pekerjaan
pendukung.
Perusahaan diberikan otoritas untuk menetapkan mana pekerjaan utama dan
mana pekerjaan pendukung berdasarkan alur kegiatan yang dibuatnya sendiri.
Dengan otoritas yang sedemikian besar, sangat mudah bagi perusahaan untuk
memasukkan sebanyak-banyaknya bidang-bidang pekerjaan di perusahaannya sebagai
kegiatan pendukung.
Sehingga kita sering melihat, banyak pekerja yang bekerja di pekerjaan
pokok, yang direkrut melalui outsourcing atau secara kontrak. Seperti pegawai
teller di bank-bank swasta, juru masak di restoran, operator-operator mesin,
wartawan, designer, sopir, administrasi, bahkan manager keuangan pun mulai
banyak yang diperoleh dari sistem perekrutan outsourcing atau kontrak.
Pekerjaan sebagai cleaning servis dan security banyak dipahami sebagai
pekerjaan yang selalu dapat di-outsourcing, karena dianggap sebagai pekerjaan
pendukung. Padahal bagi perusahaan jasa yang menjual pelayanan kepada
konsumennya, seperti hotel atau apartemen, kebersihan dan keamanan merupakan
produk utama yang dijual kepada pelanggannya, sehingga cleaning servis dan
security seharusnya adalah pekerjaan utama.
Bagi sebagian pekerja yang menyadari betapa terbatasnya lapangan pekerjaan
yang tersedia, hal-hal tersebut terpaksa harus dimaklumi.
Sekian banyak regulasi tentang ketenagakerjaan yang ada sama sekali tidak
memadai untuk dijadikan rujukan pelaksanaan sistem outsourcing. Banyak celah
yang dapat diintepretasikan menurut kepentingan masing-masing. Celah ini
merupakan wujud kegagalan regulasi, yang bisa jadi hal demikian sengaja
diciptakan untuk memberikan ruang ‘improvisasi’ bagi tumbuhnya industri.
Lihat saja bagaimana regulasi tidak memberikan norma sangsi apapun terhadap
penyimpangan ketentuan outsourcing ini. Pelanggaran penempatan pekerja
outsourcing atau kontrak bukan merupakan norma yang memiliki sangsi hukum, baik
secara administrasi maupun secara pidana.
Fungsi pengawasan harus dibangun sebagai sistem yang lintas sektoral,
mengingat sistem outsourching tidak melulu berkaitan dengan permasalahan ketengakerjaan
semata, tapi juga berkaitan dengan perijinan usaha, perseroan terbatas,
perdagangan hingga pemidanaan. Otoritas negara perlu membangun sistem
pengawasan secara terintegrasi untuk menutupi celah regulasi yang sedemikian
menganga.
Melihat tingginya konflik hukum dalam pelaksanaan outsourcing ini,
nampaknya sudah saatnya dibuat suatu undang-undang khusus yang mengatur tentang
outsourcing, yang mengatur tentang ruang lingkup, batasan-batasan, mekanisme
perekrutan, hak-hak pekerja, perlindungan dan jaminan kerja, pengawasan, hingga
ketentuan sangsi administrasi maupun pidana.
Menghapus total sistem outsourcing bisa jadi bukan solusi, karena secara
faktual sistem outsourcing memiliki beberapa keuanggulan. Namun membiarkan
sistem outsourcing berjalan membabi buta tanpa kendali, sama buruknya dengan
praktek perbudakan.
(tenk)