MENANTI REGULASI BANTUAN HUKUM

Hampir tidak ada publikasi, DPRD Jawa Timur saat ini tengah menggodok Raperda Bantuan Hukum. Raperda ini (katanya) hendak memberikan suatu layanan hukum kepada masyarakat miskin yang menghadapi persoalan hukum. Satu inisiatif yang patut diapresiasi ditengah minimnya perda inisiatif dari lembaga legislatif yang dapat memberikan perlindungan dan jaminan hak bagi masyarakat miskin.

Komisi A DPRD Jawa Timur mengklaim bahwa Raperda ini akan menjadi satu-satunya perda di Indonesia yang mengatur tentang pemberian bantuan hukum. Ditargetkan tahun 2011 ini Raperda ini dapat disahkan menjadi Perda, dan akan mendahului pengesahan UU Bantuan Hukum yang saat ini masih dalam pembahasan di DPR-RI.

Terlepas dari apresiasi yang kita berikan, kritisasi terhadap substansi raperda ini tetap perlu dilakukan agar Perda ini nantinya bukan sekedar menjadi alat gagah-gagahan politis yang tidak akan berdampak positif bagi masyarakat miskin.

Ada beberapa persoalan mendasar yang membuat Kita susah untuk optimis bahwa Perda ini nantinya dapat benar-benar dapat membantu teraksesnya keadilan bagi masyarakat miskin.

Paradigma bantuan hukum
Pemberian bantuan hukum di dalam raperda ini sangat bernuansa belas kasihan (charity) terhadap masyarakat yang tidak mampu, sehingga muncul simplifikasi persoalan bantuan hukum menjadi semata-mata tentang persoalan bayar atau tidak bayar.

Mestinya persoalan bantuan hukum adalah persoalan hak, yakni tentang bagaimana membuka akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin. Membuka akses terhadap keadilan tidak melulu persoalan bayar atau tidak bayar, tetapi juga membuka tabir-tabir penghalang terjangkaunya keadilan bagi masyarakat miskin.

Menuju ke sana perlu juga dipikirkan agar aktivitas bantuan hukum tidak justru menempatkan masyarakat miskin selalu menjadi obyek bantuan hukum, sehingga bantuan hukum juga perlu mendorong pengetahuan, kemandirian dan keberanian mereka dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum.

Sederhana misalnya, tidak adanya ketentuan keterlibatan masyarakat miskin (klien) di dalam proses penanganan perkara. Hal ini membuat tidak adanya proses transformasi pasca penanganan perkara, karena klien tidak mendapatkan pengalaman dalam penanganan perkara. Terjadilah proses ketergantungan yang berkepanjangan.

Paradigma menciptakan kemandirian adalah hal yang krusial. Bahkan, inilah yang membedakan antara penanganan perkara secara profesional (berbayar) dengan penanganan bantuan hukum. Jika prinsip kemandirian ini tidak diakomodir dalam Raperda ini, Saya khawatir pemberian bantuan hukum hanya akan menjadi pencipta ketergantungan publik, sekaligus menjadi sekedar alat untuk mendapatkan anggaran dari APBD, tanpa ada niat tulus membuka akses keadilan.

Potensi Pemberi Bantuan Hukum
Salah satu yang menonjol dalam proses penggodokan Raperda ini adalah tidak adanya pelibatan potensi-potensi pemberi bantuan hukum yang secara faktual telah menjalankan fungsi-fungsi bantuan hukum di Jawa Timur, baik dalam proses perencanaan, penyusunan draf maupun dalam pembahasan-pembahasan, bahkan dalam kosep pelaksanaan pemberian bantuan hukum yang ada di dalamnya.

Harus diakui, jauh sebelum adanya regulasi tentang bantuan hukum, aktivitas bantuan hukum telah banyak dilakukan oleh berbagai lembaga bantuan hukum yang diselenggarakan oleh suatu LSM, perguruan tinggi, kantor pengacara, partai politik maupun individu-individu. Potensi-potensi ini secara faktual telah berperan memainkan fungsi bantuan hukum yang signifikan dalam berbagai bentuknya. Mereka-lah garda depan pemberi bantuan hukum yang selama ini banyak diakses oleh masyarakat miskin.

Mereka tidak hanya menjalankan fungsi bantuan hukum dalam bentuk pendampingan hukum secara cuma-cuma, melainkan juga memberikan suatu pendidikan hukum sehingga dapat meningkatkan pengatahuan, keberanian dan kemandirian.

Harus diakui bahwa aktifitas pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh beberapa lembaga bantuan hukum tersebut banyak mengalami berbagai kendala, dari persoalan sumber daya manusia, pendanaan hingga minimnya dukungan pemerintah terhadap aktivitas yang mereka lakukan.

Kehadiran regulasi tentang bantuan hukum diharapkan dapat mengurangi kendala-kendala dari potensi-potensi pemberian bantuan hukum yang selama ini ada. Tidak justru membentuk dunia sendiri, mengawalinya dari titik nol.

Pembentukan suatu badan pemberi bantuan hukum di dalam Raperda ini perlu dibingkai sedemikian rupa dengan mengakomodir potensi-potensi bantuan hukum, yang secara faktual telah melaksanakan fungsi bantuan hukum secara sungguh-sungguh. Bahkan, mestinya pembentukan atau pembahasan Raperda ini sedari awal melibatkan para pemberi bantuan hukum ini.

Hingga saat ini, nyaris tidak ada pelibatan pelaku-pelaku pemberi bantuan hukum dalam pembahasan Raperda ini.

Tentu kita tidak perlu terlalu skeptis dengan inisitaif DPRD Jawa Timur ini, karena siapa tahu maksud mereka benar-benar tulus untuk membuka akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin, bukan untuk menjadikan perda ini sekedar proyek gagah-gagahan semata. Kita lihat saja nanti. (Saiful Arif)

(umu)

Postingan Populer