PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF MELALUI SISTEM INFORMAL DI TINGKAT DESA
A. PENDAHULUAN
Perwujudan hak atas keadilan merupakan sebuah kebutuhan mutlak yang harus segera terjawab, di tengah persoalan-persoalan sosial lain yang masih eksis, seperti kemiskinan, pengangguran, gizi buruk juga korupsi. Tentu saja, persoalan-persoalan sosial tersebut berkaitan langsung dengan belum terwujudnya hak atas keadilan, terutama bagi masyarakat miskin. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan formal masih berada pada posisi yang rendah. Selain meragukan kualitas putusan yang nantinya akan dihasilkan, lembaga peradilan masih dianggap sebagai sesuatu yang mewah.
Perubahan-perubahan yang dilakukan, harus diakui masih belum menyentuh kebutuhan riil masyarakat terhadap keadilan. Praktek-praktek mafia peradilan misalnya, semakin menjauhkan harapan masyarakat miskin di pedesaan untuk bersentuhan dengan lembaga peradilan formal. Beberapa institusi kultural menjadi institusi alternatif yang dianggap paling strategis dan realistis untuk diakses. Bagi beberapa komunitas bahkan dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Desa, sebagai entitas sosial masyarakat Indonesia, memiliki lembaga penyelesaian sengketa yang eksis dan secara turun temurun dipercaya untuk menengahi dan memberikan sebuah putusan penyelesaian sengketa. Ketua RT/RW, tokoh masyarakat, tokoh agama, kepala desa dan perangkat desa yang lain, memainkan peran penting dalam menciptakan akses-akses keadilan secara informal.
Jika hal tersebut dikaitkan dengan cita-cita menciptakan hak atas keadilan, memang diperlukan inisiatif-inisiatif untuk kembali membangun dan memunculkan potensi-potensi kultural yang dianggap relevan dan secara efektif memberikan ‘kepuasan’ masyarakat dalam mengakses keadilan. Namun, bagaimana potensi penyelesaian sengketa alternatif secara informal di tingkat desa memperoleh pengakuan dalam konteks otonomi daerah ? apakah penyelesaian sengketa alternatif secara informal di tingkat desa memiliki korelasi dengan upaya menciptakan hak atas keadilan ? bagaimana praktek penyelesaian sengketa alternatif secara informal di tingkat desa ?
Desa, sebagai entitas sosial masyarakat Indonesia, memiliki lembaga penyelesaian sengketa yang eksis dan secara turun temurun dipercaya untuk menengahi dan memberikan sebuah putusan penyelesaian sengketa. Ketua RT/RW, tokoh masyarakat, tokoh agama, kepala desa dan perangkat desa yang lain, memainkan peran penting dalam menciptakan akses-akses keadilan secara informal.
Jika hal tersebut dikaitkan dengan cita-cita menciptakan hak atas keadilan, memang diperlukan inisiatif-inisiatif untuk kembali membangun dan memunculkan potensi-potensi kultural yang dianggap relevan dan secara efektif memberikan ‘kepuasan’ masyarakat dalam mengakses keadilan. Namun, bagaimana potensi penyelesaian sengketa alternatif secara informal di tingkat desa memperoleh pengakuan dalam konteks otonomi daerah ? apakah penyelesaian sengketa alternatif secara informal di tingkat desa memiliki korelasi dengan upaya menciptakan hak atas keadilan ? bagaimana praktek penyelesaian sengketa alternatif secara informal di tingkat desa ?
Tulisan ini akan mendeskripsikan problematika akses terhadap hukum dan keadilan di Indonesia, peta kedudukan dan potensi pemerintahan desa dalam konteks otonomi daerah dan praktek penyelesaian sengketa alternatif secara informal di tingkat desa.
B. PROBLEMATIKA AKSES TERHADAP HUKUM DAN KEADILAN
Akses terhadap hukum dan keadilan, khususnya bagi masyarakat miskin, merupakan akses terhadap mekanisme yang adil, efektif dan akuntabel untuk melindungi hak, menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan penyelesaian konflik. Termasuk di dalamnya adalah kemampuan masyarakat untuk memperoleh dan mendapatkan penyelesaian melalui mekanisme sistem hukum, serta kemampuan untuk memperoleh dan terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan dan pelembagaan hukum.
Beberapa tahun terakhir telah terdapat banyak upaya reformasi hukum di sektor lembaga hukum formal (Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Polri). Reformasi kelembagaan tersebut belumlah memadai untuk memperbaiki kepercayaan akan dan akses masyarakat terhadap sektor hukum. Meskipun penguatan terhadap sektor keadilan formal merupakan aspek penting dalam mendorong akses hukum dan keadilan, berbagai upaya tersebut belum bisa optimal jika masyarakat sendiri belum memiliki kesadaran atas hak-hak mereka, tidak dapat mengakses lembaga-lembaga hukum akibat hambatan geografis, finansial atau pengetahuan serta praktek-praktek penyimpangan dalam proses dan kualitas putusan lembaga peradilan. Penguatan akses keadilan juga harus mempertimbangkan fakta bahwa proses penyelesaian sengketa di masyarakat pada umumnya diselesaikan melalui mekanisme informal.
Sebagaimana dinyatakan dalam World Development Report 2006, “people’s legal rights remain theoretical if the institutions charged with enforcing them are inaccessible”. Begitu sebuah sistem hukum melindungi kepentingan kelompok miskin, dan kesadaran hukum meningkat, lembaga-lembaga penyelesaian–baik formal maupun informal, harus segera dapat diakses. Akses yang dimaksud mencakup dimensi sebagai berikut:
- Akses Fisik : Akses fisik merujuk pada kepastian bahwa lembaga hukum dekat dengan masyarakat pemanfaat dan menyediakan pelayanan yang ramah/mudah dimengerti. Hal ini merupakan tantangan utama mengingat konteks wilayah kepulauan di Indonesia. Beberapa inisiatif seperti mengurangi jadwal persidangan atau mengenalkan pengadilan berjalan bisa jadi merupakah upaya untuk mengatasi masalah geografis.
- Akses Pembiayaan : biaya untuk mengakses lembaga hukum baik biaya langsung (filing fee) tidak langsung (transportasi) atau ilegal (suap/’uang pelicin’) merupakan hambatan besar bagi kelompok miskin untuk dapat mengakses sistem hukum (lihat Box 1).
- Akses Pelayanan Hukum yang Baik : kelompok miskin dan marginal harus diperlakukan dengan baik ketika mereka memutuskan untuk memakai lembaga formal. Melakukan survey publik mungkin dapat membantu peningkatan pelayanan masyarakat.
- Akses Kualitas putusan yang fair, terbuka dan prosedural : lembaga peradilan merupakan deramaga harapan bagi masyarakat pencari keadilan untuk meneukan keadilan hukum yang secara substansi dan prosedur memenuhi rasa keadilan, sehingga lembaga peradilan harus dapat menjamin bahwa proses peradilan berjalan fair, terbuka dan prosedural serta menghasilkan sebuah keputusan / penetapan yang dapat mencerminkan rasa keadilan substansial bagi para pihak.
- Akses terhadap Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif : Sebagian besar masyarakat menyelesaikan sengketa melalui mediasi dan arbritasi melalui sistem informal yang ada di tingkat desa (Kepala Desa, tokoh agama, lembaga adat). Kendati secara fisik lebih mudah diakses dan cenderung disukai, mekanisme informal seringkali mencerminkan ketidakseimbangan posisi tawar yang ada di masyarakat –yangberakibat pada dikompromikannya kepentingan kelompok miskin, perempuan atau etnis minoritas.
Pasal 14 Kovenan Hak Sipil Dan Politik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan bantuan hukum jika kepentingan keadilan menghendaki demikian. Untuk pemenuhan hak tersebut, menurut pertimbangan Kovenan PBB tersebut, maka negara wajib untuk memajukan penghormatan universal dan ketaatan terhadap HAM dan kebebasan. Kewajiban tersebut antara lain berupa kewajiban untuk menghormati (to respect), kewajiban untuk memenuhi (to fulfill), dan kewajiban untuk melindungi (to protect). Kewajiban tersebut termasuk kewajiban untuk melindungi, memenuhi dan menghormati hak atas keadilan.
C. KEDUDUKAN PEMERINTAHAN DESA DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH
Desa sesungguhnya adalah sebuah entitas sosial yang paling riil bagi masyarakat Indonesia. Dengan berbagai macam penyebutan entitas desa di beberapa daerah di Indonesia, seperti Nagari, Kampung dan sebagainya merupakan kesatuan wilayah yang memiliki struktur sosial, adat istiadat dan kepemimpinan yang secara turun temurun eksis secara alamiah. Kedudukannya sebagai entitas sosial, desa tidak saja memiliki fungsi administrasi, melainkan juga sebagai representasi kepercayaan kultur terhadap suatu model kepemimpinan.
Harus diakui dalam era orde baru, desa ditempatkan dalam sebuah struktur kekuasaan yang terletak di sebuah wilayah tertentu. Ia tidak mewakili tumbuh kembang sebuah komunitas, tetapi dipaksa menjadi sebuah lembaga pemerintahan formal terkecil yang dikenai sistem “komando”, sebuah sistem sentralisasi yang tidak ramah dengan keberagaman.
Era reformasi melahirkan sistem pemerintahan otonom yang dituangkan dalam Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang tersebut membawa perubahan mendasar kedudukan pemerintahan desa terhadap pemerintahan pusat. Prinsip keanekaragaman, partisipasi, otonom, demokratisasi dan pemberdayaan mulai tampak, menggantikan paradigma sentralisasi yang muncul dalam UU No 5 Tahun 1979. Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 Tentang Pemerintah Desa memberikan pengaturan yang lebih menegaskan kedudukan desa tersebut. PP ini mempertegas dan merinci materi pengaturan dalam undang-undang, di antaranya mengenai wewenang desa; tugas, wewenang, kewajiban dan hak kepala desa; kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa; juga mengenai badan permusyawaratan desa.
Kalau mengikuti konstruksi undang-undang tersebut, desa tidak sekadar diperlakukan sebagai wilayah administrasi pemerintahan negara, melainkan juga kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya. Karena itu, kepala desa memiliki status ganda, ia tidak saja sangat berpengaruh terhadap karakter kepemimpinan suatu pemerintahan, Kepala Desa juga merupakan pemimpin utama dalam masyarakat tradisional dengan hak-hak tradisionalnya. Status ganda ini tercermin cukup jelas dalam pengaturan tentang wewenang dan kewajiban kepala desa sebagaimana ditentukan dalam PP No. 72 Tahun 2005. Di antaranya, selain berwenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa, kepala desa juga berkewajiban mendamaikan perselisihan, serta mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat. Melekat dalam status ganda ini, Kepala Desa harus menjalankan peran mediasi dalam hubungan antara negara dan masyarakat desa.
(umu)