NARKOBA DAN BANTUAN HUKUM

Pengadilan Tinggi Jawa Timur membuat heboh, ketika dengan ‘gagah berani’ membebaskan seorang terdakwa Rony bin Tan Bun Ting yang sangat diyakini telah melakukan tindak pidana dengan memiliki 798 butir ekstasi, yang sangat mungkin ia adalah bagian dari jaringan pengedar narkoba. Putusan ini bertolak belakang dengan putusan Pengadilan Negeri Surabaya yang memutus bersalah Rony bin Tan Bun Ting dengan vonis 8 tahun penjara dan denda 1,1 milyar rupiah subsider 6 bulan penjara.

Lebih heboh lagi, pertimbangan hukum yang dipergunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi agak berbau klise bahwa terdakwa selama pemeriksaan penyidikan hingga persidangan tingkat pertama tidak didampingi oleh penasehat hukum, sebagaimana disebutkan dalam berita acara pemeriksaan di penyidikan maupun dalam persidangan.

Dalam berita acara pemeriksaan tersebut tertulis bahwa Majelis Hakim tingkat pertama telah berulang kali menanyakan perihal apakah terdakwa didampingi oleh penasehat hukum atau tidak, Rony menyatakan tidak. Ketika Majelis Hakim menawarkan penunjukan penasehat hukum dari pengadilan, Rony juga menolak. Karena terdakwa menolak, maka Majelis Hakim memutuskan untuk tetap melanjutkan pemeriksaan tanpa adanya penasehat hukum yang mendampingi terdakwa.

Hal inilah yang kemudian Pengadilan Tinggi Jawa Timur menganggap telah terjadi pelanggaran hukum acara, karena terdakwa yang didakwa dengan tindak pidana yang ancaman hukumannya diatas 15 tahun penjara ternyata tidak didampingi penasehat hukum, bahkan sejak dalam pemeriksaan tingkat penyidikan.

Keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur tersebut tentu saja menyentak banyak pihak, ditengah gencar-gencarnya pemerintah dan penegak hukum melakukan berbagai upaya untuk memberantas penggunaan dan pengedaran narkoba dengan tanpa ampun. Terlebih perkara ini melibatkan seorang terdakwa yang tidak dapat dikualifikasi sebagai pemain kelas teri yang sangat mungkin memiliki kemampuan untuk mengatur penegak hukum sedemikian rupa untuk bisa lepas dari jeratan hukum.

Benarkah demikian?

Jika kita kaji lebih dalam, sebenarnya tidak ada yang salah dengan keputusan Pengadilan Tinggi tersebut, karena jelas disebutkan di dalam KUHAP pasal 56 bahwa tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

Terlebih terdapat yurisprudensi dari Mahkamah Agung No : 367/K/Pid/1998 bahwa pengabaian terhadap pasal 56 KUHAP mengakibatkan tuntutan batal demi hukum dan tuntutan tidak dapat diterima. Dalam bahasa hukum tuntutan tidak dapat diterima sama sekali tidak berarti bahwa terdakwa dibebaskan, melainkan teknis penuntutan masih ada kesalahan yang harus diperbaiki dan dilengkapi kembali agar bisa diperiksa dan diputus secara hukum. Oleh karenanya pemeriksaan ulang terhadap Rony tidak berakibat nebis in idem.

Artinya dalam konteks itu, Hakim Tinggi telah berupaya untuk konsisten dengan kewajiban hukum acara yang telah ditetapkan di dalam KUHAP, bahwa didampingi penasehat hukum dalam perkara yang ancaman hukumannya di atas 15 tahun atau  hukuman mati, adalah kewajiban penegak hukum (hakim), bukan hak terdakwa.

Sehingga upaya Majelis Hakim tingkat pertama untuk menawarkan penasehat hukum adalah tidak tepat, karena pasal 56 KUHAP menentukan bahwa penunjukan penasehat hukum adalah kewajiban pejabat dalam semua tingkatan pemeriksaan. Karena ini adalah kewajiban, maka sama sekali tidak ada kaitannya dengan apakah ia menolak atau menerima dan apakah ia orang miskin atau kaya serta apakah kasusnya adalah atensi publik atau tindak pidana biasa. Sama tidak nyambungnya jika kewajiban ini dihubung-hubungkan dengan pembiayaan operasional penyediaan penasehat hukum.

Sepakat dengan pertimbangan Hakim Tinggi bahwa didampingi penasehat hukum adalah bagian dari hak azasi manusia, yang harus dihormati oleh setiap penegak hukum tanpa harus terdistorsi dengan keyakinan atau asumsi subyektif bahwa si tersangka/terdakwa adalah benar-benar seorang penjahat.

Lalu masalahnya dimana?
Pertama, jika kita bertandang di pengadilan, banyak perkara yang diperiksa yang ancaman hukumannya lebih dari 15 tahun atau lebih dari 5 tahun dan dia miskin dalam proses pemeriksaan terdakwa tidak didampingi oleh penasehat hukum. Semua berjalan begitu saja tanpa ada masalah dan ada yang mempermasalahkan, vonis pun dijatuhkan dan harus dijalani terdakwa.

Mereka ini kebanyakan berasal dari kalangan miskin yang tidak mengerti hukum, yang setelah dibacakan putusan hakim biasanya mereka hanya terdiam dan diangggap menerima putusan tersebut, sehingga secara otomatis putusan telah berkekuatan hukum tetap. Betapa kasihannya mereka menjadi silent victim atas inkonsistensi penegak hukum dalam hal pemberian bantuan hukum.

Inkonsistensi ini pula akan menimbulkan banyak pertanyaan sinis, apakah dalam perkara Rony ini murni dalam konteks penegakan hukum atau karena ada desain yang telah disepakati antara penegak hukum dengan terdakwa untuk bisa lepas pada pemeriksaan tingkat banding.

Kedua, tidak dilakukannya penunjukan hakim oleh pengadilan tingkat pertama dalam kasus Rony mencerminkan suatu kebiasaan yang selama ini dalam pemeriksaan tingkat pertama, dimana penunjukan penasehat hukum dianggap sebagai pilihan terdakwa, mau menggunakan atau tidak. Atau bahkan dalam kasus yang lain, tawaran tersebut tidak pernah disampaikan kepada terdakwa, sehingga terdakwa pun tidak tahu bahwa ia berhak didampingi penasehat hukum.

Bisa jadi kebiasaan ini dikarenakan hakim pengadilan negeri terlalu sibuk dengan terlalu banyaknya perkara yang harus dia periksa, hingga terlalu merepotkan bagi dirinya untuk membuat suatu penetapan yang hanya akan ‘menguntungkan’ bagi terdakwa.

Ketiga, putusan hakim tinggi untuk melepaskan begitu saja terdakwa menimbulkan kegaduhan yang rumit berkaitan dengan bagaimana status Rony selanjutnya, apakah harus dilakukan pemeriksaan dari awal kembali atau bagaimana. Pengadilan Tinggi tidak memberikan solusi yang memadai, hanya sekedar menyatakan bahwa tuntutan tidak dapat diterima. Terlebih saat ini keberadaan Rony sudah tidak dapat lagi terlacak aparat kepolisian.

Semestinya hakim tinggi juga menggunakan pasal 240 dan 241 KUHAP yang memungkinkan Pengadilan Tinggi untuk memperbaiki kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, dengan menyatakan putusan pengadilan tingkat pertama dibatalkan dan pengadilan tinggi mengadakan pemeriksaan/putusan sendiri. Sayangnya ini tidak dilakukan pengadilan tinggi, sehingga mementahkan begitu saja proses hukum yang begitu panjang telah dilalui terdakwa.

Keempat, perkara Rony ini akan menjadi inspirasi bagi terdakwa-terdakwa lainnya untuk melakukan hal yang sama. Jika ini yang terjadi, para narapidana tindak pidana yang ancaman hukumannya di atas 15 tahun akan ramai-ramai mengajukan peninjauan kembali, dengan harapan untuk bisa bebas sebelum waktunya. Atau jika penerapan hukum acara masih dilakukan dengan tidak konsisten, akan banyak terdakwa yang secara sengaja menolak didampingi penasehat hukum.

Pada akhirnya, bagaimanapun juga kita harus mengapresiasi putusan pengadilan tinggi sepanjang putusan tersebut dikeluarkan semata-mata untuk penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak atas bantuan hukum terdakwa, serta sepanjang dilakukan secara konsisten dan konstruktif.

Komisi Yudisial harus didorong untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap hakim-hakim yang terlibat dalam perkara ini, baik hakim tingkat pertama maupun tingkat banding untuk memastikan pemeriksaan tingkat pertama dan banding bukan bagian dari desain kesepakatan antara terdakwa dan majelis hakim. Karena terlalu ‘kesiangan’ jika pemenuhan hak atas bantuan hukum ini dijadikan pertimbangan penting untuk membebaskan terdakwa pada perkara narkoba yang melibatkan pemain kakap, yang tentu saja bukan orang miskin.

(pida)

Postingan Populer