Menerka Putusan Hakim

Pada akhirnya Tom Lembong dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, dan dijatuhi pidana penjara 4,5 tahun. Tapi tumben, intonasi pemberitaan putusan perkara korupsi ini terdengar negatif. Beberapa tokoh nasional, influencer, bahkan mantan pimpinan KPK pun merasa kecewa, dan putus asa. Tidak sedikit yang menertawakan putusan ini.

Tumben sekali, kali ini mereka berharap putusan bebas pada perkara korupsi.

Tidak banyak yg aku ketahui tentang detail perkara itu. Lagian, kan aku tidak bisa mengomentari putusan pengadilan. Tp aku bisa membayangkan bagaimana dan apa yang terjadi ketika suatu putusan dibuat..

Hakim bukan wakil Tuhan

Hakim, adalah manusia biasa yang diberi toga, yang tempat duduknya lebih tinggi dari yang lain, yang kalau ia masuk ruang sidang semua harus berdiri memberi hormat; seolah-olah ia punya kekuasaan layaknya tuhan. Tapi aku meyakini doktrin hakim sebagai wakil Tuhan, adalah doktrin yg paling tidak masuk akal. Sangat berlebihan.

Hakim tidak maha kuasa, karena hakim tidak dirancang memiliki kekuasaan yg mutlak. Ruang gerak hakim telah dibatasi dalam menyidangkan dan memutus suatu perkara. Demikianlah sistem hukum dibangun, tidak ada penegak hukum yg memiliki kewenangan mutlak. Termasuk hakim.

Hakim juga tidak maha tahu. Hakim bisa saja salah menangkap fakta, juga memutus suatu perkara. Tapi bisa jadi kesalahan itu bukan salah hakim sepenuhnya. Terkadang jaksa yang tidak mampu membuktikan, dan penasehat hukum yang gagal meyakinkan hakim.

Hakim juga tidak maha pemaaf. Hakim tidak bisa setiap saat, atas nama hati nurani sekalipun, memberikan pemaafan kepada terdakwa. Negara telah memberikan batasan-batasan pemaafan yang tidak bisa dilanggar.

Jika semua ke-Maha-an tuhan diuraikan satu per satu, percayalah, hakim tidak ada seupil-upilnya dengan kekuasaan tuhan. 

Semua perangkat untuk menjatuhkan suatu putusan sudah disediakan negara, mulai dari UU, PP, Keppres, Permen, hingga Perda. Belum lagi surat-surat edaran, yang rutin diterbitkan.  Hakim tinggal melaksanakannya. Hakim lebih tepat disebut sebagai alat negara, alih-alih wakil tuhan.

Skor tidak 0-0

Ketika terdakwa yg didampingi penasehat hukumnya, berhadapan2 vis a vis dengan penuntut umum; terdakwa tidak pernah start pada titik yg sama dengan penuntut umum. Skor mereka bukan dimulai dari 0-0, tapi 5-0, bahkan lebih.

Jaksa telah menyiapkan saksi2, bukti2, juga ahli2; jauh2 hari sebelum persidangan. Pengumpulan bukti-bukti itu sering melibatkan banyak institusi sekaligus: polisi, BPK/BPKP, KPK, bea cukai, OJK, BI, dll. Terdakwa/penasehat hukum tidak punya previllage itu. Terdakwa dikeroyok dengan bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa di persidangan, yang tentu saja "didesain" untuk menjerat terdakwa.

Benar, terdakwa juga punya hak untuk mengajukan bukti-bukti untuk pembelaan; tapi dengan waktu dan kewenangan yang terbatas, tidak banyak yang bisa dilakukan. 

Performa penasehat hukum

Ini yg jarang sekali disorot oleh publik, padahal ini juga sangat berpengaruh: kemampuan penasehat hukum untuk men-challange pembuktian jaksa, sekaligus untuk meyakinkan hakim. Dengan posisi yang tidak imbang, kualitas penasehat hukum SANGAT penting dalam pembelaan.

Tidak semua penasehat hukum mampu bekerja secara profesional. Ada penasehat hukum yg tidak punya konsep dan strategi pembelaan sama sekali. Ada juga penasehat hukum yg lebih sibuk dengan penampilan visual (rambut, pakaian, hp, dan cincin). Ada juga penasehat hukum yg lebih lihai bicara di depan kamera wartawan, daripada berargumentasi di ruang sidang.

Hakim sering kali tidak mendapat input argumentasi yg memadai dari penasehat hukum karena pembelaan dibangun dengan narasi yg tidak terstruktur dan tidak substansial. Lebih banyak opini, dan klaim daripada argumentasi hukumnya. Padahal argumentasi dari penasehat hukum ini sangat penting buat hakim.

Dialektika minim

Hakim tidak selalu punya waktu untuk memberikan energi dan perhatian yg sama kepada semua perkara yg ditanganinya. Ada banyak faktor kenapa itu terjadi, yg paling sering dikeluhkan adalah banyaknya perkara yg harus diperiksa secara bersamaan. Beban pekerjaan yg besar itu, sering membuat fokus hakim terbagi2, terpecah2, bahkan tertumpuk2. Belum lagi beban kerja2 non-yudisial.

Dalam perkara2 tertentu, terutama perkara korupsi, dialektika itu sangat penting untuk pengayaan narasi dan pertajaman pertimbangan hukum. Apalagi perkara korupsi sering kali melibatkan banyak irisan2 bidang2 hukum lain (administrasi, perdagangan, korporasi, komersial, perbankan, dll).

Membaca komentar pengamat2 tentang akurasi dan kualitas pertimbangan hakim, bisa jadi itu karena belum/kurang terbangunnya tradisi dialektika dalam perumusan pertimbangan hukum, bukan sekedar menjatuhkan amar putusan. Apalagi hukum acara memang tidak mewajibkannya secara detail. Sehingga yang banyak terjadi adalah putusan disusun oleh salah satu anggota majelis saja, yg kebetulan ditunjuk sebagai konseptor putusan. Atau, hasil dari comot sana-sini dari tuntutan jaksa.

Spektrum Pasal 2 tipikor

Pasal 2 UU tipikor adalah pasal super pukat harimau, yg memiliki spektrum unsur delik yg sangat luas. Bahkan terlalu luas. Apalagi jika pasal ini dikaitkan dengan pasal 55 KUHP. Kombinasi ini bisa sangat mematikan. Mata rantai yg terhubung, secara sengaja atau tidak, bisa dianggap sebagai satu kesatuan perbuatan.

Dengan rumusan pasal ini, mengharuskan terdakwa dituntut menjadi manusia yg sempurna dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tidak boleh ada cacat hukum atau kesalahan apapun dalam setiap perbuatan terdakwa; bahkan terhadap hal2 yg diluar kendali dan sepengetahuannya. Ia juga tak harus menjadi kaya atau mendapat keuntungan dari perbuatannya.

Suka tidak suka, pasal ini eksis di UU Tipikor, dan masih akan eksis di KUHP yg baru. Pasal ini menjadi pasal gacoan dalam gerakan anti korupsi karena fleksibilitas tinggi yg bisa menjerat pelaku korupsi yg dianggap semakin kompleks dan semakin canggih. Resikonya, pasal ini bisa juga digunakan untuk menjerat seseorang dengan motif non hukum. Selama iklim penegakan hukum masih sekedar mencocok2kan unsur, dan jumlah penanganan perkara korupsi sebagai gengsi penegakan hukum; akan banyak orang2 baik jadi terdakwa korupsi karena dicari2 kesalahannya.

Pressure lembaga peradilan

Dalam waktu yang hampir bersamaan, lembaga peradilan diterpa badai penangkapan hakim. Lembaga peradilan menjadi sorotan utama. Kecurigaan publik menjadi-jadi. Putusan apapun akan menjadi perdebatan, dan menimbulkan kecurigaan. Ini memberikan tekanan psikologis pada hakim untuk sangat berhati-hati dalam menjatuhkan putusan. Sebagian yang lain menjadi terlalu berhati-hati, lalu bermain aman.

Putusan ringan, terutama pada perkara korupsi, adalah putusan yang sangat sensitif. Apalagi putusan bebas. Dengan spektrum delik yang begitu luas, sebenarnya tidak sulit untuk menjerat dan menghukum terdakwa. Tapi kasus korupsi sering kali tidak menampakan hitam putihnya perbuatan secara kontras, di mana suatu perkara bisa dilihat dari multi perspektif sekaligus.

Hakim ditantang untuk bisa memutus perkara dengan melihat dari banyak perspektif. Ini yang tidak mudah.

Entah apa yang terjadi pada perkara Tom Lembong. 


Postingan Populer