BUKAN (CUMA) GAJI YANG BIKIN HAKIM TIDAK SEJAHTERA

Dalam piramida penegakan hukum, pengadilan menduduki puncak teratas bangunan piramid, dengan aktor utamanya: hakim. Proses panjang penegakan hukum dari penyelidikan, akan berakhir pada ketokan palu sang hakim. Menduduki puncak piramida penegakan hukum, membentuk persepsi di mata masyarakat bahwa hakim juga menduduki puncak kesejahteraan aparat penegak hukum.

Apa iya? Mari kita lihat..

Saat ini, standar kesejahteraan hakim adalah merujuk pada PP 94 tahun 2012 untuk hakim karir, dan Perpres 5 tahun 2013 untuk hakim adhoc. Dua2nya dibuat pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono periode yang pertama, yakni ketika Presiden Jokowi masih menjadi walikota Solo. 

Berdasarkan PP 94 tahun 2012, hakim karir mendapatkan hak keuangan dan fasilitas yang terdiri dari 10 item, yakni: gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun, dan tunjangan lain. Dari 10 hak keuangan dan fasilitas tersebut, yang benar2 diterima secara reguler setiap bulan dalam bentuk uang adalah gaji pokok[1], tunjangan jabatan[2] (bagi yg memiliki jabatan struktural), dan tunjangan lain[3]. Selebihnya berupa fasilitas yang diterima dalam kondisi tertentu.

Dengan kalkulasi seperti demikian, take home pay seorang hakim memiliki kisaran yang beragam bergantung dengan masa kerja, golongan, pangkat, jabatan, dan variabel2 tertentu. Sebagai gambaran ilustrasi, seorang hakim dengan masa kerja 8 tahun dengan pangkat hakim madya, tanpa jabatan struktural; akan menerima take home pay kisaran Rp24.000.000,- hingga Rp27.000.000,-. Hakim dengan masa kerja lebh rendah, akan menerima kurang dari jumlah itu. Sebaliknya, hakim yang memiliki masa kerja dan pangkat yang lebih tinggi, apalagi jika memiliki jabatan struktural, akan menerima gaji lebih tinggi.

Hakim adhoc memiliki kalkulasi hak keuangan yang agak berbeda dengan hakim karir. Hakim adhoc hanya menerima hak keuangan berupa: tunjangan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan dalam menjalankan tugasnya, biaya perjalanan dinas; dan uang penghargaan. Dari 7 hak keuangan dan fasilitas tersebut, yang benar2 diterima secara reguler setiap bulan dalam bentuk uang hanya tunjangan[4] dan tunjangan transportasi[5]. Selebihnya berupa fasilitas yang diterima dalam kondisi tertentu.

Berbeda dari hakim karir, adalah tunjangan hakim adhoc setiap bulannya akan dipotong pajak PPh 10%. Sehingga dalam sebulan, take home pay seorang hakim adhoc tipikor di tingkat pertama adalah kisaran Rp19.000.000,-.

Apakah itu besar? Iya memang besar, apalagi jika dibandingkan dengan UMR Surabaya 2024 yang hanya Rp4.725.000,-. Atau, apalagi jika dibanding dengan gaji guru honorer. Tapi membandingkan gaji hakim dengan gaji buruh adalah tidak apple to apple. Sama tidak apple to apple-nya membandingkan gaji hakim Indonesia dengan gaji hakim di negara lain.

Memang agak rumit mengukur kesejahteraan hakim, karena terlalu banyak indikator yang bisa jadi sangat subjektif. Bahkan tendensius. Belum lagi, juga ada begitu banyak isu kesejahteraan personil aparatur negara di Indonesia ini yang belum terselesaikan. Gaji guru, dan tenaga kesehatan, misalnya. Fakta bahwa regulasi penggajian hakim yang belum pernah dikoreksi selama 12 tahun menurut saya pas tepat dijadikan tolok ukur utama. Masak iya sih, yang salah justru standar kesejahteraan dalam PP 94 tahun 2012 dan Perpres 5 tahun 2013 yang ketinggian, sehingga hingga saat ini pun masih dianggap relevan.

Saya pada posisi yang pasrah, mau dinaikkan atau dipertahankan; terserah saja. Kalaupun nanti gaji hakim dinaikkan, entah banyak atau sedikit kenaikannya, menurut saya ada persoalan lain yang sebenarnya juga penyebab hakim kurang sejahtera. Jika hal-hal ini tidak juga diatasi, kenaikan gaji tidak akan berarti apa-apa.


Potongan dan iuran

Perhitungan take home pay di atas adalah perhitungan kotor. Sangat kotor. Karena di lapangan ada banyak alasan yang membuat hakim tidak bisa menerima secara utuh perhitungan tersebut, salah satunya adalah: potongan rutin dan iuran.

Seorang hakim akan langsung berhadapan vis a vis dengan bendahara ketika tiba waktunya gajian. Bendahara telah sigap memperhitungkan berapa2 potongan yg akan dikenakan untuk masing2 hakim dengan senjata ampuhnya: autodebit. Sebagai contoh, seorang hakim setidaknya akan berhadapan setidaknya 6 potongan rutin secara sekaligus, yakni: PTWP, BDSM, IKAHI, keagamaan, olah raga, dharmayukti, dan koperasi. Totalnya sekitar 500rb sampe 700rb setiap bulan.

Selain potongan rutin, hakim juga akan dicegat dengan potongan2 berupa iuran untuk kegiatan2 insidentil. Ada banyak macam2 kegiatan insidentil, diantaranya: pelepasan dan pisah sambut hakim, acara2 peringatan (agustusan, peringatan2 hari jadi, dll), PTWP (meski setiap bulan sudah ada potongan rutin), perkawinan, dan yang juga sering adalah kunjungan pejabat2 tertentu, baik pribadi maupun dinas, terutama pengadilan2 tertentu yang “kunjung-able”. Kegiatan-kegiatan itu mustahil dianggarkan di DIPA, tapi nyaris semua pengadilan pasti punya kegiatan-kegiatan itu, dan "orang-orang atas" tidak mau tahu pokoknya harus jalan. Solusinya: dicari2kan anggarannya, salah satunya dari iuran hakim. Jumlahnya lumayan dan membebani, terutama bagi hakim yang memang dikenal sebagai donatur. Hakim dari mana uangnya? 


Tenaga honor/asisten pribadi

Beban kerja yang tinggi membuat hakim tidak bisa bekerja sendirian. Untuk pekerjaan2 yang bersifat teknis dan diperlukan percepatan, banyak hakim yg terpaksa mempekerjakan tenaga honor atau asisten pribadi untuk membantu sang hakim.

Pelibatan tenaga honor dan asisten pribadi ini sudah menjadi kebutuhan yg tidak bisa dihindari karena selain pekerjaan yudisial, hakim juga dibebani dengan pekerjaan2 non peradilan, misalnya pengawasan bidang, ZI, Ampuh, monitoring EIS, kepanitian, koperasi, dll. Untuk itu, beberapa hakim harus menyisihkan anggaran khusus untuk mereka. Pengeluaran hakim untuk kebutuhan ini juga cukup besar, dan tentu saja membebani keuangan hakim. Hakim dari mana uangnya?


Rumah dinas

Secara normatif, hakim menerima fasilitas rumah dinas yg disediakan negara. Prakteknya, tidak setiap pengadilan memiliki fasilitas rumah dinas. Kalaupun ada, kebanyakan tidak layak huni dan tidak berperabot. Hakim terpaksa harus menyewa tempat tinggal dengan biaya sendiri. Untuk menekan pengeluaran, banyak hakim yg memilih untuk menyewa kamar kost dengan fasilitas seadanya.

Untuk hakim adhoc memang diberikan uang sewa rumah, namun jumlahnya tidak memadai untuk digunakan sewa rumah dalam setahun karena penetapan jumlah uang sewa rumah tersebut ditetapkan pada tahun 2019 yang tak lagi sesuai dengan harga pasaran terkini. Apa boleh buat, hakim harus mengeluarkan biaya tambahan dari kantong pribadi. Hakim dari mana uangnya?


Kebijakan Penempatan

Mahkamah Agung memiliki kewenangan menempatkan hakim di pengadilan-pengadilan di seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan penempatan ini sering kali tidak memperhitungkan pertimbangan domisili asal, sehingga banyak hakim yang ditempatkan di wilayah yang sangat jauh dari domisili asal.

Tidak semua hakim memilih untuk memboyong istri dan anak untuk mengikuti pindah ke tempat dinas karena banyak pertimbangan. Sehingga hakim harus mengalokasikan anggaran untuk pulang setidaknya 2 bulan sekali. Tidak sedikit hakim yang harus menempuh perjalanan udara, laut, dan darat secara sekaligus. Sekali pulang bisa habis puluhan juta hanya untuk tiket perjalanan. Hakim dari mana uangnya?


Seragam

Aparat penegak hukum sepenting dan sewibawa hakim, ternyata tidak memiliki seragam kerja harian yang disediakan negara. Semua seragam harian yang dipakai hakim seluruh Indonesia, bukan disediakan/dibiayai oleh negara tetapi dibeli menggunakan uang pribadi. Setiap pengadilan memiliki kebijakan seragam yang berbeda-beda. Bahkan, ganti pimpinan pun bisa ganti seragam. 

Yang paling kentara ketika hakim harus satu forum dengan aparat penegak hukum yang lain atau pejabat daerah, sangat terlihat kewibawaan hakim anjlok karena seragam yang tidak meyakinkan. Yg membedakan hanya id card di kantong yang mirip petugas protokol bandara. Itu nampak nyata ketika harus berfoto bersama dgn penegak hukum lain dan pejabat daerah, hakim terlihat minder dan rendah diri di pinggir2. 

Jangankan seragam harian, bahkan toga sidang-pun banyak yg harus jahit sendiri.

Kalau negara tidak menyediakan seragam yang official, hakim dari mana uangnya?


***

Pada akhirnya, kenaikan gaji bukan-lah resep tunggal memperbaiki kesejahteraan hakim. Ada banyak persoalan yang terkait langsung dan tidak langsung dengan isu kesejahteraan hakim. Ini yang juga harus dipikirkan solusinya oleh Mahkamah Agung. Jika tidak, keagungan lembaga peradilan akan mudah digerogoti oleh mental gratifikasi. 



[1] gaji pokok yang besarannya adalah mengacu pada ketentuan dan besaran gaji pokok pegawai negeri pada umumnya (ASN). Gaji pokok terendah hakim dengan masa kerja 0 tahun pangkat terendah adalah Rp2.064.100, sedangkan untuk hakim dengan masa kerja 32 tahun dengan pangkat tertinggi adalah Rp4.978.000,-

[2] Tunjangan jabatan diberikan kepada hakim diberikan setiap bulan berdasarkan jenjang karir, wilayah penempatan tugas, dan kelas pengadilan. Besaran tunjangan jabatan hakim sangat bervariasi mengikuti jabatan struktural, golongan, pangkat, dan kelas pengadilan

[3] Tunjangan lainya yakni terdiri dari: tunjangan keluarga, tunjangan beras; dan tunjangan kemahalan. Tunjangan keluarga diperhitungkan berdasarkan prosentase gaji pokok. Tunjangan untuk suami/istri adalah 10% dari gaji pokok, dan untuk anak 2% dari gaji pokok. Tunjangan beras diberikan dalam bentuk uang senilai 10kg dikalikan jumlah suami/istri dan anak (maksimal 2 anak). Tunjangan kemahalan diberikan bagi hakim yg ditempatkan di wilayah2 tertentu, misalnya di Papua, Aceh, Kepulauan Riau, dan sebagainya; dengan kisaran Rp1.350.000,- untuk zona 2, hingga Rp10.000.000,- untuk wilayah zona 3.

[4] Tunjangan hakim adhoc berbeda untuk masing2 jenis pengadilan khusus, dan masing2 tingkatan. Misalnya, hakim ad hoc tipikor di tingkat pertama mendapat tunjangan sejumlah Rp20.500.000,-. Di tingkat banding, sejumlah Rp25.000.000,-, Di tingkat kasasi, sejumlah Rp40.000.000,-.

[5] Masing2 hakim adhoc juga menerima tunjangan transportasi dengan nilai2 rata Rp50.000,- per kehadiran yang diterima setiap bulan. Dengan asumsi sebulan tidak pernah absen, maka hakim adhoc akan menerima tambahan tunjangan transportasi sejumlah 800rb-900rb per bulan

Postingan Populer