SBY, Menepuk Nasi Didulang Terpercik Muka Sendiri

Oleh: Saiful Arif

Peristiwa marahnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada para menterinya beberapa hari yang lalu sangat-lah menarik. SBY begitu emosional kepada para menterinya yang dianggap gagal mengendalikan harga daging (serta peristiwa kerusuhan LP Tanjung Gusta). Jarang Presiden SBY meluapkan kemarahannya dengan sangat ekspresif di depan publik seperti itu. Banyak yang memuji kemarahan SBY tersebut, tapi banyak juga yang sinis.

Kemarahan SBY tersebut seakan mengingatkan kembali kepada kita bahwa negara ini masih punya seorang pemimpin. Kehadiran seorang pemimpin seperti itulah yang banyak dirindukan masyarakat, setelah beberapa peristiwa besar terjadi begitu saja tanpa kehadiran SBY sebagai seorang pemimpin. Kalaupun akhirnya hadir, sering kali sudah terlambat.

Ketegasan SBY itu memang perlu diapresiasi, tapi dalam konteks kegagalan mengendalikan harga komoditas pangan, kemarahan SBY itu adalah aneh.

Melonjaknya harga daging pada harga yang tidak rasional sesungguhnya bukan kejadian yang pertama, dan juga bukan kejadian satu-satunya. Banyak komoditas pangan lain yang juga mengalami pelonjakan harga, bahkan menghilang di pasaran. Setelah daging, bawang merah dan bawang putih, kini disusul daging ayam, telur, dan cabe.

Kejadian itu hampir terjadi setiap tahun dengan pola yang nyaris sama. Selalu berulang. Hal itu menunjukkan adanya sesuatu yang tidak beres pada sistem ketahanan pangan di negeri ini.

Sebagai atasan, SBY memang pantas memarahi para menterinya. Tetapi dalam konteks kepemerintahan, marahnya SBY itu sesungguhnya mengingatkan Saya pada pepatah tua ini: “menepuk nasi di dulang, terpercik muka sendiri”.

SBY sebagai kepala pemerintahan tidak bisa menjadi outsider atas sistem ketahanan pangan yang dilakukan oleh para menterinya. Pada konteks itulah, marahnya SBY kepada para menterinya harus dimaknai sebagai upaya “cuci tangan” SBY atas persoalan ketahanan pangan, daripada menyelesaikan masalah. Dengan marahnya itu, SBY ingin mengatakan bahwa kesalahan pengendalian harga komoditas pangan adalah murni kesalahan para menteri. Hal ini aneh, karena kegagalan menteri sesungguhnya adalah kegagalan presiden. Begitu juga sebaliknya.

Ketersedian pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat merupakan hal yang sangat penting untuk diwujudkan oleh negara, dalam hal ini adalah Pemerintah.

Kejadian kelangkaan atau melonjaknya harga beberapa komoditas pangan hingga beberapa kali menunjukkan adanya kegagalan sistem ketahanan pangan. Kegagalan itu ditunjukkan dengan kegagalan untuk menjamin ketersediaan komoditas pangan dalam jumlah yang cukup dan merata, serta kegagalan untuk menciptakan ketersediaan komoditas pangan dengan harga yang terjangkau.

Nampak sekali sistem ketahanan pangan tidak dapat menjamin ketersediaan komoditas pangan. Tidak berimbangnya ketersediaan komoditas pangan dibandingkan kebutuhan masyarakat, mengakibatkan harga komoditas pangan tidak lagi terjangkau masyarakat.

Tidak tersedianya komoditas pangan tersebut bisa jadi dikarenakan minimnya pasokan dari produsen, namun bisa juga diakibatkan oleh permainan para spekulan yang sengaja menahan distribusi komoditas pangan untuk membentuk harga yang diinginkannya. Namun apapun penyebabnya, hal tersebut mestinya bisa diatasi apabila sistem ketahanan pangan terbangun dengan kokoh.

Dewan Ketahanan Pangan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2006, yang secara ex officio dipimpin oleh Presiden, seharusnya telah memiliki rumusan tentang kebijakan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional, dan melaksanakan evaluasi dan pengendalian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. Tugas tersebut meliputi kegiatan penyediaan pangan, distribusi pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi.

Dengan tugas yang demikian, Dewan Ketahanan Pangan seharusnya memiliki sistem early warning system untuk mengantisipasi problem ketersediaan komoditas pangan dengan menciptakan cadangan pangan nasional yang memadai, terutama pada momen-momen tertentu yang secara reguler terjadi tingkat konsumsi yang tinggi.

Cadangan pangan nasional sering kali tidak berjalan dengan baik, karena masih tingginya ketergantungan terhadap beberapa komoditas pangan impor. Ketergantungan itulah yang sering kali dimanfaatkan oleh oleh pelaku-pelaku kartel komoditas pangan, terutama yang berbasis impor, untuk mempermainkan harga.

Intervensi pasar yang dilakukan pemerintah untuk menekan harga pun sering kali dilakukan terlambat, karena masing-masing instansi kementerian berjalan sendiri-sendiri. Begitu terjadi gejolak harga, beberapa kementerian justru sibuk saling menyalahkan satu sama lain.

Kejadian berulang-ulang melonjaknya harga beberapa komoditas pangan, serta terjadinya kelangkaan komoditas pangan, sekali lagi, menunjukkan bahwa sistem ketahanan pangan yang dipimpin oleh Presiden itu tidak berjalan dengan baik.

Kinerja para menteri yang buruk memang harus dievaluasi, namun bukan berarti tanggung jawab menciptakan stabilitas harga komoditas pangan dapat dilimpahkan begitu saja kepada para menteri. Kegagalan para menteri menciptakan sistem ketahanan pangan nasional, sesungguhnya merupakan kegagalan presiden.

Artinya, ketika SBY memarahi para menterinya yang tidak bisa menangani gejolak harga komoditas pangan, sesungguhnya SBY sedang “menepuk nasi didulang, terpercik muka sendiri”.

(umu)

Postingan Populer