Polisi, Rasa Aman, dan Senjata Api
Oleh: Saiful
Arif
Seperti tahun-tahun
sebelumnya, setiap menjelang lebaran, angka kejahatan seperti jambret,
penodongan, pencurian, atau curanmor, meningkat sangat tajam. Peningkatan itu
tidak saja dari jumlah, tapi juga dari segi modus dan kenekatan pelaku. Mereka
beraksi lebih terorganisir, dengan modus yang terus berkembang. Dan yang lebih
mencemaskan, mereka tidak segan melukai atau bahkan membunuh korban.
Polisi punya tugas berat untuk menciptakan rasa aman kepada masyarakat. Untuk itu polisi menyatakan tidak akan ragu-ragu untuk bersikap tegas menghadapi para pelaku kejahatan tersebut, termasuk dalam menggunakan senjata api. Kanitresmob Satreskrim Polrestabes Surabaya bahkan pernah membuat pernyataan tegas “Kami tak segan menembak mati!” (Jawa Pos, 24 Juli 2013).
Polisi punya tugas berat untuk menciptakan rasa aman kepada masyarakat. Untuk itu polisi menyatakan tidak akan ragu-ragu untuk bersikap tegas menghadapi para pelaku kejahatan tersebut, termasuk dalam menggunakan senjata api. Kanitresmob Satreskrim Polrestabes Surabaya bahkan pernah membuat pernyataan tegas “Kami tak segan menembak mati!” (Jawa Pos, 24 Juli 2013).
Tentu tekad
kepolisian untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat tersebut harus
diapresiasi. Namun penggunaan senjata api dalam penegakan hukum oleh kepolisian
tetap harus dilakukan berdasarkan koridor hukum. Hal ini penting karena dampak
yang diakibatkan oleh senjata api tidak saja akan menimbulkan penderitaan fisik
dan psikis, tapi bisa juga kematian orang-orang yang secara hukum belum tentu terbukti
melakukan tindak pidana.
Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009, penggunaan senjata api hanya dapat dibenarkan dalam rangka untuk mencegah, menghindari, atau menghentikan perilaku orang yang mengancam keamanan atau membahayakan nyawa, barang milik atau kesucian orang lain.
Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009, penggunaan senjata api hanya dapat dibenarkan dalam rangka untuk mencegah, menghindari, atau menghentikan perilaku orang yang mengancam keamanan atau membahayakan nyawa, barang milik atau kesucian orang lain.
Selain itu, penggunaan
senjata api tetap harus memperhatikan prinsip keabsahan, kebutuhan dan
proporsionalitas. Hal itu untuk memastikan bahwa penggunaan senjata api
dilakukan dengan cara yang seimbang sehingga tidak menyebabkan penderitaan yang
berlebihan.
Namun, diakui atau
tidak, fungsi penggunaan senjata api oleh kepolisian kini tidak lagi terbatas
seperti dalam Peraturan Kapolri tersebut. Penggunaan senjata api juga kerap digunakan
kepolisian untuk memberikan efek jera bagi para pelaku dan penghukuman terhadap
pelaku kriminal, sekaligus untuk memberikan warning
kepada calon-calon pelaku lain agar mengurungkan niatnya melakukan kejahatan.
Persoalannya adalah,
pemberian efek jera dan penghukuman atas tindak pidana bukanlah ranah kewenangan
kepolisian. Berdasarkan UU Kepolisian, fungsi
POLRI adalah menjadi alat negara yang bekerja untuk mempertahankan keamanan dan
ketertiban sosial, menegakkan hukum dan memberi perlindungan, pengayoman dan
layanan kepada masyarakat. Untuk melaksanakan fungsi penegakan hukum,
kepolisian memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan, penahanan,
penyitaan, penggeledahan, dan seterusnya. Pemberian efek jera dan penghukuman sama
sekali tidak termasuk dalam kewenangan-kewenangan itu.
Pembenaran terburu-buru
Menjelang lebaran
seperti ini, hampir setiap hari kita disuguhi pemberitaan tentang penembakan-penembakan
yang dilakukan anggota kepolisian terhadap orang-orang yang diduga merupakan
bandit-bandit jambret, penodongan, pencurian, atau curanmor. Beberapa
diantaranya harus ditembak mati, karena disebutkan berupaya melawan petugas.
Seiring dengan
penembakan-penembak tersebut, nyaris tidak pernah ada pemeriksaan untuk menguji
apakah penggunaan senjata yang dilakukan oleh kepolisian tersebut telah
memenuhi batasan-batasan hukum dalam penggunaan senjata api atau tidak. Setiap
peristiwa penggunaan senjata api, kepolisian begitu saja mengklaim bahwa
penggunaan senjata api tersebut dilakukan sesuai koridor hukum, misalnya: pelaku
berupaya melarikan diri, melawan petugas, atau membahayakan masyarakat.
Padahal pengujian
itu sangat penting, karena bisa menjadi instrumen kontrol dan pengawasan atas
penggunaan senjata api. Namun yang terjadi, kepolisian justru selalu memiliki
tendensi untuk melindungi anggotanya dan selalu memberikan
pembenaran-pembenarann klise, meskipun sebenarnya belum ada pengujian apapun
mengenai penggunaan senjata api yang telah dilakukan.
Tentu kita masih
ingat dengan peristiwa tragis penggunaan senjata api yang dilakukan oleh
anggota polisi di Sidoarjo terhadap seorang guru ngaji, yang mengakibatkan guru
ngaji tersebut tewas berdarah-darah. Secara cepat Kepolisian Sidoarjo meng-klaim
bahwa penembakan itu terpaksa dilakukan polisi karena guru ngaji adalah pelaku tindak
kriminal dan ketika dilakukan penangkapan, guru ngaji itu melakukan perlawanan
kepada petugas.
Namun berkat
kejelian wartawan yang terus memberitakan adanya kejanggalan-kejanggalan dalam
peristiwa itu, akhrnya terungkap bahwa penembakan itu dilakukan secara melawan
hukum. Anggota polisi yang melakukan penembakan diketahu dalam kondisi mabuk
ketika menembak, dan guru ngaji tersebut sama sekali tidak terkait dengan
tindakan kriminal apapun. Guru ngaji itu pun sama sekali tidak melakukan
perlawanan kepada anggota polisi.
Nasi sudah jadi
bubur, guru ngaji yang dermawan itu harus tewas karena tindakan ngawur anggota kepolisian yang
menggunakan senjata api secara sewenang-wenang. Sepertinya biasanya penembakan ngawur itu pun sempat dibenarkan oleh
institusi kepolisian, walaupun akhirnya kepolisian mengakui bahwa ada kesalahan
serius atas prosedur penggunaan senjata api yang dilakukan anggota polisi di
lapangan.
Peristiwa tersebut
memberikan pelajaran penting bahwa penggunaan senjata api harus benar-benar
dilakukan berdasarkan koridor hukum, dengan mekanisme kontrol yang ketat.
Tentu saja,
menciptakan rasa aman bagi masyarakat adalah sebuah keharusan. Namun penggunaan
senjata yang dilakukan secara berlebihan, tidak saja dapat berakibat
terbunuhnya orang-orang tidak berdosa, tetapi juga membuat institusi kepolisian
menjadi lembaga superbody yang bisa melakukan
penyidikan, penuntutan, penghakiman dan eksekusi secara sekaligus.
(pida)