Permasalahan Hukum Unitlink Pada Asuransi
Oleh: Saiful Arif
Hampir semua perusahaan-perusahaan asuransi jiwa di
Indonesia saat ini memiliki produk Unit Link, yang menawarkan proteksi asuransi
sekaligus keuntungan investasi kepada tertanggung. Pasarnya pun cukup besar. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) melansir nilai bisnis ini mencapai lebih dari Rp 40 trilliun. Begitu
menguntungkannya Unit Link, membuat beberapa perusahaan asuransi asing yang
justru lebih fokus menggarap produk Unit Link di Indonesia daripada produk
asuransi jiwa.
Unit link merupakan produk investasi jiwa (yang dikaitkan dengan asuransi jiwa) baru muncul pertama kali tahun 1971 di India. Di Indonesia, Unit Link baru muncul pada awal tahun 2000-an. Sebagai sebuah produk baru, Unit Link sama sekali belum “terpikirkan” oleh pembuat undang-undang ketika mengundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian.
Unit link merupakan produk investasi jiwa (yang dikaitkan dengan asuransi jiwa) baru muncul pertama kali tahun 1971 di India. Di Indonesia, Unit Link baru muncul pada awal tahun 2000-an. Sebagai sebuah produk baru, Unit Link sama sekali belum “terpikirkan” oleh pembuat undang-undang ketika mengundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian.
Pengaturan tentang Unit Link justru baru
muncul pada tahun 2012, yakni pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
53/PMK.010/2012. Dalam Permenkeu tersebut-lah eksistensi Unit Link “diakui”
dengan istilah normatif sebagai “Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan
Investasi”.
Pengakuan eksistensi Unit Link dalam Permenkeu tersebut lebih tepat disebut sebagai “penyelundupan norma”, karena: pertama, Permenkeu tersebut sebenarnya mengatur tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi, bukan mengatur tentang produk-produk asuransi jiwa. Kedua, Unit Link sama sekali tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan, baik pada level Peraturan Pemerintah maupun Undang-undang. Bahkan sebenarnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 secara implisit “melarang” keberadaan Unit Link (baca: Pasal 4 huruf b).
Pengakuan eksistensi Unit Link dalam Permenkeu tersebut lebih tepat disebut sebagai “penyelundupan norma”, karena: pertama, Permenkeu tersebut sebenarnya mengatur tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi, bukan mengatur tentang produk-produk asuransi jiwa. Kedua, Unit Link sama sekali tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan, baik pada level Peraturan Pemerintah maupun Undang-undang. Bahkan sebenarnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 secara implisit “melarang” keberadaan Unit Link (baca: Pasal 4 huruf b).
Saya menyebutnya, pengakuan eksistensi
Unit Link di dalam Permenkeu tersebut semata-mata untuk mengakomodasi
praktek-praktek perasuransian yang telah berkembang pada saat itu, di mana Unit
Link menjadi produk yang telah banyak diperjualbelikan, terlebih dengan volume
yang cukup besar.
Di sisi yang lain, Undang-undang Nomor 2
Tahun 1992 tentang Perasuransian adalah undang-undang tua yang sudah tidak
dapat lagi menjangkau praktek-praket perasuransian yang berkembang saat ini,
yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan praktek perasuransian pada saat
itu.
Komisi XI DPR RI saat ini tengah
menggodok sebuah RUU tentang usaha perasuransian, dan menargetkan tahun ini
bisa segera diundangkan. Bahkan mereka telah siap-siap melakukan studi banding
ke Amerika Serikat dan Eropa. Semoga saja studi banding itu modus untuk ngelencer.
Ada beberapa norma baru dalam RUU tersebut
yang belum diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, diantaranya: tentang
upaya memberikan perlindungan maksimal kepada tertanggung, keberadaan asuransi
syari’ah dan lembaga pembianaan dan pengawasan perusahaan perasuransian.
Namun ada satu hal yang saya cari-cari
tetapi tidak ada dalam RUU tersebut, yakni: Unit Link.
RUU tersebut justru kembali menegaskan
norma yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, bahwa perusahaan
asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi jiwa,
asuransi kesehatan, dan asuransi kecelakaan diri.
Penggunaan frase “hanya dapat”
menegaskan bahwa asuransi jiwa memiliki batas yang sangat limitatif dalam
menerbitkan produk-produk asuransi. Artinya, RUU tersebut melarang perusahaan
asuransi jiwa untuk menerbitkan produk asuransi selain asuransi jiwa, kesehatan
dan kecelakaan diri. Semangatnya, tentu saja, memberikan perlindungan hukum
bagi tertanggung dari kerugian-kerugian akibat aktivitas perusahaan asuransi
jiwa yang bercabang kemana-mana.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan
RUU ini, mengingat orientasi investasi Unit Link sama sekali berbeda dengan
orientasi kebutuhan perlindungan asuransi. Investasi menghendaki keuntungan,
sedangkan asuransi menghendaki perlindungan. Dua hal ini agak sulit dilakukan
secara bersamaan karena secara teoritis keduanya memiliki konsep yang sama
sekali berbeda satu sama lain, bahkan bertentangan.
Secara teoritis, kegiatan asuransi
mengandung 4 konsep utama, yakni: perjanjian, penanggung-tertanggung, evenemen,
dan adanya kerugian-kerusakan-kehilangan.
Jika RUU tersebut berangkat dari
kerangka konsep asuransi tersebut, agak sulit menerima keberadaan Unit Link
dapat diakomodir dalam suatu undang-undang perasuransian, mengingat kegiatan
investasi Unit Link mengandung resiko kerugian atas pengelolaan dana investasi
yang harus ditanggung oleh tertanggung. Hal tersebut justru bertentangan dengan
semangat RUU itu sendiri, yakni: memberikan perlindungan maksimal kepada
tertanggung.
Bagaimana mungkin, di satu sisi
tertanggung menghendaki perlindungan resiko kepada penanggung, tetapi pada saat
yang bersamaan tertanggung harus menanggung resiko kerugian atas dana investasi
yang dikelola oleh penanggung?
Tidak ada jalan lain, RUU harus
konsisten bahwa perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha
asuransi jiwa, kesehatan dan kecelakaan. Artinya produk-produk asuransi yang
lain tidak dapat diselenggarakan oleh perusahaan asuransi jiwa, terlebih produk
investasi.
Unit Link harus dikembalikan pada
habitat aslinya, yakni investasi; bukan pada habitat asuransi.
(umu)