Merindukan Kenyamanan Di Kapal Pelni
Oleh: Saiful Arif
Dalam berbagai kesempatan, Dirut Pelni (yang lama maupun yang baru) mengemukakan maskapai penerbangan berbiaya rendah (low cost carrier) merupakan faktor utama yang menyebabkan anjloknya jumlah penumpang kapal-kapal yang dikelola PT Pelni. Sebelum tahun 2001 jumlah penumpang kapal Pelni bisa mencapai 10 juta penumpang per tahun. Tapi setelah tahun 2001, jumlah penumpang hanya berkisar 4 juta penumpang per tahun. PT Pelni menengarai, menurunnya jumlah penumpang itu, karena banyak penumpang kapal Pelni yang beralih ke moda transportasi udara (pesawat).
Beralihnya penumpang kapal Pelni ke moda transportasi udara adalah hal yang logis, karena maskapai penerbangan memiliki banyak keunggulan yang tidak dimiliki oleh kapal-kapal Pelni. Dengan harga tiket yang tidak terlalu terpaut jauh, namun dengan waktu tempuh yang sangat cepat, transportasi udara menjadi pilihan yang sangat logis.
Dalam berbagai kesempatan, Dirut Pelni (yang lama maupun yang baru) mengemukakan maskapai penerbangan berbiaya rendah (low cost carrier) merupakan faktor utama yang menyebabkan anjloknya jumlah penumpang kapal-kapal yang dikelola PT Pelni. Sebelum tahun 2001 jumlah penumpang kapal Pelni bisa mencapai 10 juta penumpang per tahun. Tapi setelah tahun 2001, jumlah penumpang hanya berkisar 4 juta penumpang per tahun. PT Pelni menengarai, menurunnya jumlah penumpang itu, karena banyak penumpang kapal Pelni yang beralih ke moda transportasi udara (pesawat).
Beralihnya penumpang kapal Pelni ke moda transportasi udara adalah hal yang logis, karena maskapai penerbangan memiliki banyak keunggulan yang tidak dimiliki oleh kapal-kapal Pelni. Dengan harga tiket yang tidak terlalu terpaut jauh, namun dengan waktu tempuh yang sangat cepat, transportasi udara menjadi pilihan yang sangat logis.
Hal yang nyaris sama sebenarnya juga pernah dialami oleh PT KAI, ketika banyak penumpang PT KAI yang banyak beralih ke transportasi udara atau transportasi darat lainnya (bus atau travel). Hanya bedanya PT KAI tidak cengeng seperti halnya PT Pelni. PT KAI memilih untuk melakukan transformasi besar-besaran daripada mengeluh. Perubahan besar dilakukan PT KAI untuk menarik penumpang sebanyak-banyaknya, namun dengan mengutamakan pelayanan dan kenyamanan kepada penumpang, khususnya kepada penumpang kelas ekonomi. Hasilnya ternyata: luar biasa!
Kereta api kini telah menjadi alat transportasi modern
yang memberikan pelayanan prima kepada penumpang. Tidak ada lagi desak-desakan penumpang di atas kereta karena khawatir tidak
kebagian tempat duduk. Tidak ada lagi penumpang rebutan tempat duduk. Tidak ada
lagi calo tiket. Tidak ada lagi pedagang asongan yang mengganggu kenyamanan
penumpang. Tidak ada penumpang kegerahan karena kepanasan. Tidak ada penumpang
yang terpaksa menahan buang air karena toilet yang jorok.
Tentu masih perlu perbaikan di sana-sini. Tapi secara umum, konsumen kereta
api telah mendapatkan satu hal yang tidak pernah dirasakan selama
bertahun-tahun, yakni: kenyamanan.
Kembali ke persoalan kapal Pelni. Beberapa upaya telah
dilakukan PT Pelni untuk meningkatkan kinerjanya, diantaranya melakukan rightsizing yakni dengan melakukan
optimalisasi ruang-ruang kapal untuk digunakan fungsi-fungsi pengangkutan
non-penumpang. Lumayan, hal itu mulai memberikan harapan bagi PT Pelni untuk,
paling tidak, mengurangi kerugian yang selama ini terjadi.
PT Pelni juga melakukan upaya perluasan jaringan
penjualan tiket dengan melakukan kerjasama dengan beberapa agen-agen penjualan
tiket, termasuk dengan PT Pos Indonesia yang memiliki 3.800 Kantor Pos di
seluruh Indonesia. Hal ini untuk mempermudah calon penumpang untuk mendapatkan
tiket kapal-kapal Pelni secara on line.
Efisiensi penggunaan bahan bakar pun dilakukan PT Pelni.
Selain melakukan evaluasi rute-rute yang kurang ekonomis, PT Pelni juga
berencana beralih menggunakan bahan bakar gas. Bahkan PT Pelni juga
menginstruksikan kepada para nahkoda kapal Pelni untuk mengurangi kecepatan
kapal agar lebih hemat BBM.
Namun itu saja nampaknya tidak cukup. Karena upaya itu lebih
berbasis pada “kebutuhan” PT Pelni sebagai sebuah korporasi, bukan berbasis
pada “kebutuhan” penumpang yaitu: kenyamanan.
Sejak pertama kali Saya naik kapal Pelni, sekitar tahun
2001, nyaris tidak ada perubahan kualitas pelayanan yang diberikan PT Pelni
kepada penumpang. Untuk sekedar masuk di ruang tunggu terminal pelabuhan saja harus
berdesak-desakan. Ruang tunggu juga sama sekali tidak memberikan kenyamanan
bagi penumpang yang sering kali harus menunggu kedatangan kapal hingga
berjam-jam.
Begitu kapal sandar, ribuan penumpang berebut untuk
menjadi penumpang pertama yang naik kapal agar mendapat tempat di atas kapal.
Tidak ada jalur khusus buat perempuan dan anak-anak, semua berjubel menjadi
satu dan harus “bertarung” dengan ratusan buruh angkut yang berbadan kekar.
Beberapa petugas berdiri di depan pintu tangga berteriak-teriak dan membawa
pentungan “menyambut” penumpang yang akan naik kapal. Penumpang benar-benar
terintimidasi, bahkan sebelum naik kapal.
Begitu masuk kapal, keadaan semakin kacau. Penumpang lari
tunggang langgang ke sana ke mari
berusaha mencari tempat yang kosong. Mereka bukan saja harus berebut tempat
dengan sesama penumpang, tetapi berebut dengan buruh-buruh angkut yang
“merangkap” menjadi calo tempat duduk. Tempat duduk diperjualbelikan secara
terang-terangan oleh calo-calo itu. Memang ada himbauan larangan
memperjualbelikan tempat duduk, tapi himbauan itu tidak pernah digubris.
Dari segi keamanan juga sangat tidak memadai. Tindak
pencurian dan pencopetan sering terjadi
di atas kapal, baik ketika pada saat sandar maupun ketika kapal telah berlayar.
Bahkan, beberapa bulan yang lalu, 18 penumpang KM Lambelu mengalami luka parah
dibacok oleh Masaiku, seorang penumpang, yang mengamuk di atas kapal. Buruknya
sistem pengamanan di pelabuhan maupun di kapal, membuat Masaiku bisa membawa
senjata tajam di atas kapal.
Keberadaan petugas keamanan sangat menonjol hanya pada
saat pemeriksaan tiket, untuk mengamankan dan menginterogasi penumpang yang
tidak bertiket. Itupun ujung-ujungnya dapat diselesaikan dengan cara
“kekeluargaan”.
Dengan kondisi demikian, terlalu berlebihan apabila PT
Pelni menganggap keberadaan maskapai penerbangan murah (low cost carrier) sebagai penyebab anjloknya jumlah penumpang
kapal Pelni. Persoalannya justru ada pada PT Pelni sendiri, yang tidak bisa
memenuhi kebutuhan penumpang, yakni: kenyamanan.
Kapal Pelni memang mustahil bisa menyamai kecepatan
pesawat, tapi kapal Pelni mestinya bisa bersaing memberikan kenyamanan dengan
maskapai penerbangan murah. Jika kenyamanan itu-pun juga tidak bisa dipenuhi, maka
tidak ada lagi alasan bagi penumpang untuk tetap setia dengan kapal Pelni.
Arus mudik lebaran tinggal beberapa minggu lagi. Belum
ada tanda-tanda PT Pelni memenuhi kebutuhan penumpang. Sementara di tempat yang
lain, maskapai penerbangan terus memperbaiki diri untuk memberikan kenyamanan
bagi penumpang-penumpangnya. (Saiful Arif)
(umu)