Pengesahan Perkawinan/Itsbat Nikah

Pertama, aturan pengesahan nikah/itsbat nikah dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh PPN yang berwenang.

Kedua, aturan pengesahan nikah tercantum dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jis. Pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam.

Ketiga, dalam Pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Pasal 7 ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang disahkan hanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi Pasal 7 Ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang untuk pengesahan perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN yang dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk kepentingan perceraian. Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam ini banyak dipraktekkan di Pengadilan Agama.

Keempat, perkawinan yang tidak dicatatkan oleh PPN banyak berindikasi penyelundupan hukum untuk mempermudah poligami tanpa prosedur hukum, dan memperoleh hak waris atau hak-hak lain atas kebendaan. Oleh karena itu, Pengadilan Agama harus berhati-hati dalam memeriksa dan memutus permohonan pengesahan nikah/itsbat nikah, agar proses pengesahan nikah/itsbat nikah tidak dijadikan alat untuk melegalkan perbuatan penyelundupan hukum.

Kelima, untuk kepentingan itu, maka proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan pengesahan nikah/itsbat nikah harus mengikuti petunjuk-petunjuk sebagai berikut:
  • Permohonan itsbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami istri atau salah satu dari suami istri, anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan;
  • Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh kedua suami istri bersifat voluntair, produknya berupa penetapan, jika isi penetapan tersebut menolak permohonan itsbat nikah, maka pihak suami dan istri bersama-sama atau suami, istri masing-masing dapat mengupayakan kasasi;
  • Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau istri bersifat kontensius dengan mendudukkan istri atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diupayakan banding atau kasasi;
  • Apabila dalam proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah dalam angka (2) dan (3) tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
  • Permohonan itsbat nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan harus bersifat kontensius, dengan mendudukkan suami atau istri dan/atau ahli waris lain sebagai termohon;
  • Suami, istri yang telah ditinggal mati oleh istri atau suaminya, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah secara kontensius dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak termohon, produknya berupa putusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi;
  • Dalam hal suami atau istri yang ditinggal mati tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka permohonan itsbat nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan. Apabila permohonan tersebut ditolak, maka pemohon dapat mengajukan kasasi;
  • Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (2) dan (6), dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama yang memutus, setelah mengetahui ada penetapan itsbat nikah;
  • Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan (5), dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama yang memeriksa perkara itsbat nikah tersebut selama perkara belum diputus;
  • Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan (5), sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama, ia dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama tersebut;
  • Sebelum perkara permohonan pengesahan nikah disidangkan, Pengadilan Agama wajib mengumumkan permohonan pengesahan nikah yang diajukan kepadanya sebanyak 3 kali dalam jangka waktu 3 bulan pada media massa cetak atau elektronik, dan pemeriksaan dilakukan setelah lewat jangka waktu satu bulan dari tanggal pengumuman terakhir;
  • Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syariat Islam dan perkawinan tersebut tidak melanggar larangan perkawinan yang datur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam;
  • Pengesahan nikah dapat digabungkan dengan gugatan perceraian. Cara penyelesaiannya diputus bersama-sama dalam satu putusan;
  • Pengesahan nikah dapat pula digabungkan dengan gugatan warisan;
  • Untuk keseragaman amar pengesahan nikah berbunyi sebagai berikut : “Menetapkan sahnya perkawinan antara……..dengan……..yang dilaksanakan pada tanggal………..di………”;
(kelu)

Postingan Populer