SANKSI ATAS PELANGGARAN THR
Tahun 2007 LBH Surabaya mendapatkan pengaduan pelanggaran THR sejumlah 3.181 buruh. Tahun 2008 meningkat menjadi 29.095 buruh. Angka tersebut tidak menggambarkan angka pelanggaran THR di Jawa Timur secara keseluruhan, artinya di luar pengaduan yang masuk tersebut jumlahnya bisa berlipat ganda. Tahun 2009 ini, pelanggaran THR diprediksi meningkat tajam dari tahun-tahun sebelumnya.
Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan. Pengaturan tersebut diatur dalam Permenaker No : PER-04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan, dimana pemenuhan THR sama sekali bukan bersifat hadiah atau belas kasihan pengusaha kepada buruhnya, melainkan kewajiban pengusaha.
Permenaker No : PER-04/MEN/1994 tersebut telah cukup baik mengatur tentang siapa saja yang berhak menerima THR, ketentuan besaran, mekanisme pembayaran, kapan harus dibayar, ketentuan penyimpangan pembayaran, sanksi dan ketentuan-ketentuan lainnya. Sehingga dengan pengaturan tentang THR ini, diharapkan tidak terjadi gejolak-gejolak dari kalangan buruh, hingga akhirnya tercipta suatu hubungan industrial yang harmonis dan produktif.
Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan. Pengaturan tersebut diatur dalam Permenaker No : PER-04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan, dimana pemenuhan THR sama sekali bukan bersifat hadiah atau belas kasihan pengusaha kepada buruhnya, melainkan kewajiban pengusaha.
Permenaker No : PER-04/MEN/1994 tersebut telah cukup baik mengatur tentang siapa saja yang berhak menerima THR, ketentuan besaran, mekanisme pembayaran, kapan harus dibayar, ketentuan penyimpangan pembayaran, sanksi dan ketentuan-ketentuan lainnya. Sehingga dengan pengaturan tentang THR ini, diharapkan tidak terjadi gejolak-gejolak dari kalangan buruh, hingga akhirnya tercipta suatu hubungan industrial yang harmonis dan produktif.
Pemenuhan THR sama sekali tidak berkaitan dengan status kerja buruh dalam suatu perusahaan, melainkan mengacu pada masa kerja dari buruh yang bersangkutan, yakni minimal telah bekerja selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. Sehingga buruh dengan status kerja kontrak, outsourching, part time, borongan dan sejenisnya juga berhak atas THR.
Sesuai dengan ketentuan Permenaker tersebut, pengusaha dapat mengajukan permohonan penyimpangan pemenuhan pembayaran THR yang diajukan kepada Dep/disnaker paling lambat 2 (dua) bulan sebelum hari raya. Jika permohonan tersebut dikabulkan, maka pengusaha diijinkan untuk memenuhi pembayaran THR tidak sesuai dengan Permenaker No : PER-04/MEN/1994.
Sehingga apabila telah melewati jangka waktu 2 (dua) bulan sebelum hari raya tersebut pengusaha tidak mengajukan permohonan maka kewajiban hukum telah melekat padanya, berikut konsekuensi hukumnya apabila kewajiban pemenuhan THR tidak dilaksanakan.
Konteks Jawa Timur, tidak ada publikasi khusus dari Disnaker Kota/Kabupaten di Jawa Timur tentang perusahaan yang telah mengajukan permohonan penyimpangan pemenuhan pembayaran THR untuk hari raya Idul fitri tahun 2009 ini. Artinya apabila asumsi ini benar maka tahun 2009 ini, seharusnya semua buruh di Jawa Timur pada hari raya Idul Fitri 2009 ini akan menerima THR tepat waktu dan dalam jumlah yang sesuai dengan ketentuan.
Tentang sanksi, Permenaker No : PER-04/MEN/1994 mengacu pada ketentuan pada Undang-undang No 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, yang kemudian undang-undang ini diganti dengan Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Banyak kalangan beranggapan dengan dicabutnya Undang-undang No 14 Tahun 1969 tersebut, maka Permenaker No : PER-04/MEN/1994 tidak lagi memiliki sanksi hukum.
Ini jelas penilaian yang keliru, karena pelanggaran atas pemenuhan THR tetap memiliki mekanisme sanksi hukum yang dapat dipergunakan untuk menjerat para pelaku pelanggaran hukum ini.
Pertama, Departemen/Dinas Tenaga kerja selaku representasi kekuatan negara pada bidang ketenagakerjaan memiliki 4 (empat fungsi). Salah satu fungsi yang paling penting dalam hal ini adalah sebagai pemegang fungsi pengawasan, sehingga dalam hal ini Dep/disnaker selayaknya menggunakan fungsi ini sebagai garda depan penegakan hukum ketenagakerjaan/pemenuhan THR.
Jelas disebutkan bahwa THR merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengusaha. Oleh karenanya, THR bukanlah sebuah praktek kebiasaan apalagi belas kasihan yang pemenuhannya diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha tanpa ada konsekuensi apapun.
Sebagai sebuah kewajiban normatif, Dep/disnaker harus melakukan langkah-langkah terobosan dan proaktif untuk melakukan fungsi-fungsi pengawasan sehingga pelaksanaan pemenuhan THR dilakukan sesuai dengan ketentuan Permenaker No : PER-04/MEN/1994. Apabila dalam pengawasan tersebut, Dep/disnaker menemukan pelanggaran THR maka Dep/disnaker dapat menjatuhkan sanksi-sanksi administrasi yang berupa teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, bahkan hingga pencabutan ijin usaha.
Tidak seperti yang selama ini berjalan, Dep/disnaker sudah cukup merasa melakukan tugasnya dengan mengeluarkan Surat Edaran yang hanya bersifat himbauan kepada pengusaha tanpa konsekuensi apapun.
Kedua, sebagai suatu hak yang dijamin hukum ketenagakerjaan, pelanggaran atas pemenuhan THR dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial dalam konteks perselisihan hak. Dalam proses persidangan ini, buruh sebagai pihak yang dirugikan dapat menggugat pengusaha atas tidak dipenuhinya THR.
Proses pembuktian dalam persidangan ini relatif mudah, namun tetap harus melalui mekanisme-mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Untuk menjamin pelaksanaan putusan majelis hakim nantinya, buruh dapat mengajukan sita jaminan atas aset-aset barang bergerak dan atau tidak bergerak milik pengusaha.
Dalam banyak kasus, pelanggaran pemenuhan THR selalu dilakukan oleh suatu perusahaan kepada sekian banyak buruh, sehingga secara akumulatif nilai gugatannya akan selalu sangat fantastis. Jika gugatan tersebut dimenangkan tentu akan mengancam kelangsungan usaha dan investasi.
Ketiga, pasca tidak berlakunya Undang-undang No 14/1969, pasal 9.Permenaker No : PER-04/MEN/1994 tidak lagi memiliki cantolan hukum yang dapat dijadikan referensi penjatuhan sanksi pidana. Namun hal tersebut tidak dapat diartikan bahwa pelanggaran pemenuhan THR tidak memiliki sanksi hukum secara pidana. Apalagi dikatakan oleh beberapa pihak bahwa dengan tidak adanya ketentuan sanksi pidana tersebut, pemenuhan THR bukan lagi menjadi hak normatif melainkan hanya sekedar praktek kebiasaan. Pemenuhan THR tetap menjadi hak normatif buruh, karena hak normatif tidak berkaitan dengan ada atau tidak adanya sanksi pidana.
Pelanggaran pemenuhan THR dapat didorong ke wilayah pidana umum, yang justru memiliki sanksi hukum yang lebih berat. Dengan demikian, pelanggaran pemenuhan THR bukan lagi menjadi tindak pidana ringan, melainkan merupakan kejahatan yang diancam hukuman pidana 4 tahun penjara.
Tafsir unsur-unsur pidana penggelapan dalam konteks pelanggaran pemenuhan THR cukup jelas dan lengkap. Disebutkan dalam Permenaker No : PER-04/MEN/1994 bahwa THR adalah ‘pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan”. Maka, telah memenuhi unsur pidana penggelapan ketika uang THR telah cair demi hukum pada saat (paling lambat) 7 hari sebelum hari raya, yang mana kemudian uang THR tersebut wajib diserahkan kepada buruh, mengingat uang THR tersebut adalah pendapatan buruh. Apabila uang tersebut tidak diserahkan kepada buruh maka pengusaha tersebut telah melakukan tindak pidana penggelapan, sebagaimana diatur dalam pasal 372 dan pasal 374 KUHP.
Keempat, pelanggaran atas pemenuhan pembayaran THR di satu sisi merupakan pelanggaran hukum, di sisi yang lain juga telah melanggar rasa keadilan buruh yang begitu mengharapkan menerima pembayaran THR tersebut untuk menyambut perayaan hari raya keagamaan. Jika pelanggaran itu terjadi maka akan menimbulkan gelombang protes dari buruh. Apalagi solidaritas buruh saat ini dalam kondisi yang cukup baik, untuk dapat merespon setiap ketidakadilan yang menimpa buruh dari kelompok manapun. Jika gelombang protes ini yang terjadi, maka otomatis akan mengganggu kelancaran, produktivitas usaha serta image perusahaan.
Memperhatikan hal tersebut, bukan suatu keputusan yang bijak jika pengusaha masih punya niat untuk tidak memenuhi kewajiban membayar THR kepada buruhnya, karena beban pembayaran pemenuhan THR jauh lebih murah dari pada beban biaya yang harus dikeluarkan untuk menghadapi konsekuensi hukum atas pelanggaran pemenuhan pembayaran THR.
Sanksi hukum atas pelanggaran THR sangat jelas, terukur dan cukup menjadi ancaman bagi para pengusaha yang hendak mengemplang uang THR milik buruh. Jangan coba-coba !!!
(tenk)