PRT PERLU DILINDUNGI
Jumlah pekerja rumah tangga (PRT) yang bekerja di pulau Jawa tahun 2010 menncapai lebih dari 3,5 juta jiwa dan 30%-nya diantaranya berada di Jawa Timur. Mayoritas adalah kaum perempuan dengan tingkat rata-rata pendidikan rendah serta berasal dari keluarga miskin daerah pedesaan. Diperkirakan akhir tahun 2011, jumlah PRT Jawa Timur akan meningkat 100%.
Peningkatan dalam jumlah yang besar tersebut adalah kabar baik sekaligus kabar buruk. Kabar baiknya adalah semakin besar angka lapangan pekerjaan domestik yang tersedia di dalam negeri, kabar buruknya adalah peningkatan yang sangat tinggi tersebut tidak dibarengi upaya pemerintah untuk mengakui dan melindungi PRT sebagai sebuah profesi.
Secara sosial, PRT tidak dianggap sebagai sebuah profesi, sehingga pemenuhan hak-haknya seringkali hanya berdasarkan belas kasihan atau kemurahan hati majikan. Akronim PRT pun lebih dipahami sebagai “Pembantu” daripada “Pekerja” Rumah Tangga. Secara normatif, PRT pun belum dianggap sebagai sebuah profesi, karena aktivitas PRT dianggap jauh dari aktifitas produksi.
Menjelaskan relasi PRT dan pengguna jasa PRT (majikan) memang tidak semudah menjelaskan relasi tenaga kerja dan pemberi tenaga kerja sebagaimana dalam hubungan industrial pada umumnya. Hal ini dikarenakan relasi PRT dan pengguna jasa PRT memiliki kekhususan yang unik dan kompleks.
Relasi antara PRT dan pengguna jasa banyak dikondisikan dalam relasi kekeluargaan, yang dalam banyak hal dapat mengaburkan adanya relasi hubungan kerja antara PRT dan pengguna jasa. Akibatnya beban pekerjaan dan hak-hak PRT menjadi tidak terukur, jam kerja tanpa batas, gaji sangat rendah dan tidak adanya jaminan kesehatan.
PRT bekerja dan hidup tertutup dari pandangan publik karena sebagian besar dari mereka tinggal di rumah tempat dia bekerja. Tidak ada batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, membuat profesi PRT menjadi pekerjaan yang rumit, menuntut curahan waktu, perhatian, energi dan berbagai keterampilan.
Namun seiring perkembangan jumlah PRT yang melonjak, nyaris tidak ada regulasi yang memberikan perlindungan hukum kepada PRT. Hanya undang-undang Penghapusan Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga yang secara eksplisit menyebut PRT sebagai obyek perlindungan dalam undang-undang tersebut. Selebihnya, PRT sama sekali tidak mendapat perhatian, pengaturan dan perlindungan secara hukum. Bahkan, undang-undang ketenagakerjaan pun sama sekali tidak menyinggung persoalan PRT ini.
Awalnya, masuknya RUU tentang PRT pada Prolegnas DPR-RI 2010 memberikan harapan baru bagi PRT untuk memperbaiki taraf hidup dan perlindungan hukum yang maksimal. Namun seiring dengan kepastian kandasnya RUU tersebut, memupuskan harapan adanya keseriusan atau jaminan perlindungan terhadap PRT.
Tentu untuk melindungi PRT tidak harus menunggu RUU PRT disahkan, karena kebutuhan perlindungan PRT tidak dapat menunggu. Pemerintah Daerah yang wilayahnya terdapat banyak PRT, perlu melakukan inisiasi perlindungan terhadap PRT dengan mengeluarkan regulasi-regulasi perlindungan. Jawa Timur sebagai wilayah yang memiliki populasi PRT terbesar, baik sebagai pemasok sekaligus pengguna jasa PRT, sangat penting untuk memiliki regulasi mengenai perlindungan PRT.
Ruang lingkup perlindungan yang dapat dilakukan diantaranya :
Peningkatan dalam jumlah yang besar tersebut adalah kabar baik sekaligus kabar buruk. Kabar baiknya adalah semakin besar angka lapangan pekerjaan domestik yang tersedia di dalam negeri, kabar buruknya adalah peningkatan yang sangat tinggi tersebut tidak dibarengi upaya pemerintah untuk mengakui dan melindungi PRT sebagai sebuah profesi.
Secara sosial, PRT tidak dianggap sebagai sebuah profesi, sehingga pemenuhan hak-haknya seringkali hanya berdasarkan belas kasihan atau kemurahan hati majikan. Akronim PRT pun lebih dipahami sebagai “Pembantu” daripada “Pekerja” Rumah Tangga. Secara normatif, PRT pun belum dianggap sebagai sebuah profesi, karena aktivitas PRT dianggap jauh dari aktifitas produksi.
Menjelaskan relasi PRT dan pengguna jasa PRT (majikan) memang tidak semudah menjelaskan relasi tenaga kerja dan pemberi tenaga kerja sebagaimana dalam hubungan industrial pada umumnya. Hal ini dikarenakan relasi PRT dan pengguna jasa PRT memiliki kekhususan yang unik dan kompleks.
Relasi antara PRT dan pengguna jasa banyak dikondisikan dalam relasi kekeluargaan, yang dalam banyak hal dapat mengaburkan adanya relasi hubungan kerja antara PRT dan pengguna jasa. Akibatnya beban pekerjaan dan hak-hak PRT menjadi tidak terukur, jam kerja tanpa batas, gaji sangat rendah dan tidak adanya jaminan kesehatan.
PRT bekerja dan hidup tertutup dari pandangan publik karena sebagian besar dari mereka tinggal di rumah tempat dia bekerja. Tidak ada batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, membuat profesi PRT menjadi pekerjaan yang rumit, menuntut curahan waktu, perhatian, energi dan berbagai keterampilan.
Namun seiring perkembangan jumlah PRT yang melonjak, nyaris tidak ada regulasi yang memberikan perlindungan hukum kepada PRT. Hanya undang-undang Penghapusan Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga yang secara eksplisit menyebut PRT sebagai obyek perlindungan dalam undang-undang tersebut. Selebihnya, PRT sama sekali tidak mendapat perhatian, pengaturan dan perlindungan secara hukum. Bahkan, undang-undang ketenagakerjaan pun sama sekali tidak menyinggung persoalan PRT ini.
Awalnya, masuknya RUU tentang PRT pada Prolegnas DPR-RI 2010 memberikan harapan baru bagi PRT untuk memperbaiki taraf hidup dan perlindungan hukum yang maksimal. Namun seiring dengan kepastian kandasnya RUU tersebut, memupuskan harapan adanya keseriusan atau jaminan perlindungan terhadap PRT.
Tentu untuk melindungi PRT tidak harus menunggu RUU PRT disahkan, karena kebutuhan perlindungan PRT tidak dapat menunggu. Pemerintah Daerah yang wilayahnya terdapat banyak PRT, perlu melakukan inisiasi perlindungan terhadap PRT dengan mengeluarkan regulasi-regulasi perlindungan. Jawa Timur sebagai wilayah yang memiliki populasi PRT terbesar, baik sebagai pemasok sekaligus pengguna jasa PRT, sangat penting untuk memiliki regulasi mengenai perlindungan PRT.
Ruang lingkup perlindungan yang dapat dilakukan diantaranya :
Pertama, memberikan pengakuan secara hukum atas jenis pekerjaan PRT ini. Perlu penegasan secara normatif bahwa PRT adalah akronim dari Pekerja Rumah Tangga (bukan Pembantu Rumah Tangga) yang memiliki hak dan kewajiban atas pekerjaan-pekerjaannya. Oleh karenanya, PRT adalah sebuah profesi yang perlu dihargai sebagaimana profesi lainnya.
Kedua, mencegah segala bentuk diskriminasi, pelecehan dan kekerasan terhadap PRT. Seperti kita tahu, PRT memiliki kerentanan yang selama ini terbukti seringkali menjadi korban kekerasan dan perlakuan tidak pantas lainnya. Regulasi harus dapat memberikan perlindungan yang lebih terhadap tindak perbuatan diskriminasi jenis kelamin, agama, ras dan suku baik dari pengguna jasa maupun masyarakat.
Pengguna jasa mempunyai tanggung jawab memberikan perlindungan kepada PRT. Sekaligus pengguna jasa wajib menghargai privasi, hak berpendapat, beribadah, hak berkomunikasi, hak bersosialisasi, hak berorganisasi serta hak politik PRT yang bekerja di dalam lingkungan rumahnya.
Dalam hal terjadi tindak kekerasan, masyarakat wajib untuk memberikan perlindungan kepada PRT. Perlindungan ini sejalan dengan Undang-undang tentang Penghapusan KDRT, dimana masyarakat yang mengetahui adanya tindak kekerasan wajib memberikan perlindungan kepada korban kekerasan domestik tersebut.
Ketiga, memberikan perlindungan kepada PRT dalam mewujudkan kesejahteraan. Sebagai sebuah profesi, kerja-kerja PRT harus terukur dengan jelas melalui kontrak-kontrak yang disepakati secara berimbang. Dengan demikian, hak-hak yang diberikan harus proporsional dengan beban kerja diberikan. Pelanggaran atas kesepakatan ini, dapat dilakukan mekanisme komplain hingga upaya hukum.
Relasi kekeluargaan yang ada tidak boleh mengaburkan relasi/hubungan kerja antara PRT dan pengguna jasa, namun justru harus menjadi etika dasar untuk saling percaya dan saling menghargai. Relasi kekeluargaan tersebut sama sekali tidak dapat menghapus hak-hak sebagai pekerja, misalnya: hak istirahat, hak cuti, berserikat, jaminan sosial, upah dan seterusnya.
Upah yang diterima PRT tdak boleh lebih rendah dari upah hidup layak yang berlaku di daerah setempat. Pemberian fasilitas-fasilitas kerja (penginapan, makan dan seterusnya) tidak boleh mengurangi upah yang diterima PRT. Ketidakmampuan pengguna jasa untuk memenuhi hak upah secara penuh, dapat dilakukan dengan mengurangi beban kerja yang diberikan kepada PRT sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Keempat, mengatur hubungan kerja yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan. PRT tidak boleh menjadi obyek dalam hubungan kerja, melainkan menjadi mitra kerja bagi pengguna jasa. Pembentukan pola hubungan kerja harus memperhatikan, menghargai dan mengormati hak-hak PRT sebagai manusia dan sebagai tenaga kerja.
PRT berhak memberikan tawaran-tawaran hak dan kewajiban kepada pengguna jasa, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian lahir sebuah relasi yang berimbang, tanpa menghilangkan relasi kekeluargaan.
Regulasi perlindungan harus dapat menyentuh titik-titik krusial tersebut untuk memastikan tidak ada relasi yang timpang, menindas dan eksploitasi dengan alasan apapun. Semakin lamban pemerintah melakukan perlindungan terhadap PRT, maka sesungguhnya akan memperbesar potensi eksploitasi terhadap PRT.
(Dimuat di Jawa Pos, tanggal 3 November 2010)
Kedua, mencegah segala bentuk diskriminasi, pelecehan dan kekerasan terhadap PRT. Seperti kita tahu, PRT memiliki kerentanan yang selama ini terbukti seringkali menjadi korban kekerasan dan perlakuan tidak pantas lainnya. Regulasi harus dapat memberikan perlindungan yang lebih terhadap tindak perbuatan diskriminasi jenis kelamin, agama, ras dan suku baik dari pengguna jasa maupun masyarakat.
Pengguna jasa mempunyai tanggung jawab memberikan perlindungan kepada PRT. Sekaligus pengguna jasa wajib menghargai privasi, hak berpendapat, beribadah, hak berkomunikasi, hak bersosialisasi, hak berorganisasi serta hak politik PRT yang bekerja di dalam lingkungan rumahnya.
Dalam hal terjadi tindak kekerasan, masyarakat wajib untuk memberikan perlindungan kepada PRT. Perlindungan ini sejalan dengan Undang-undang tentang Penghapusan KDRT, dimana masyarakat yang mengetahui adanya tindak kekerasan wajib memberikan perlindungan kepada korban kekerasan domestik tersebut.
Ketiga, memberikan perlindungan kepada PRT dalam mewujudkan kesejahteraan. Sebagai sebuah profesi, kerja-kerja PRT harus terukur dengan jelas melalui kontrak-kontrak yang disepakati secara berimbang. Dengan demikian, hak-hak yang diberikan harus proporsional dengan beban kerja diberikan. Pelanggaran atas kesepakatan ini, dapat dilakukan mekanisme komplain hingga upaya hukum.
Relasi kekeluargaan yang ada tidak boleh mengaburkan relasi/hubungan kerja antara PRT dan pengguna jasa, namun justru harus menjadi etika dasar untuk saling percaya dan saling menghargai. Relasi kekeluargaan tersebut sama sekali tidak dapat menghapus hak-hak sebagai pekerja, misalnya: hak istirahat, hak cuti, berserikat, jaminan sosial, upah dan seterusnya.
Upah yang diterima PRT tdak boleh lebih rendah dari upah hidup layak yang berlaku di daerah setempat. Pemberian fasilitas-fasilitas kerja (penginapan, makan dan seterusnya) tidak boleh mengurangi upah yang diterima PRT. Ketidakmampuan pengguna jasa untuk memenuhi hak upah secara penuh, dapat dilakukan dengan mengurangi beban kerja yang diberikan kepada PRT sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Keempat, mengatur hubungan kerja yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan. PRT tidak boleh menjadi obyek dalam hubungan kerja, melainkan menjadi mitra kerja bagi pengguna jasa. Pembentukan pola hubungan kerja harus memperhatikan, menghargai dan mengormati hak-hak PRT sebagai manusia dan sebagai tenaga kerja.
PRT berhak memberikan tawaran-tawaran hak dan kewajiban kepada pengguna jasa, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian lahir sebuah relasi yang berimbang, tanpa menghilangkan relasi kekeluargaan.
Regulasi perlindungan harus dapat menyentuh titik-titik krusial tersebut untuk memastikan tidak ada relasi yang timpang, menindas dan eksploitasi dengan alasan apapun. Semakin lamban pemerintah melakukan perlindungan terhadap PRT, maka sesungguhnya akan memperbesar potensi eksploitasi terhadap PRT.
(Dimuat di Jawa Pos, tanggal 3 November 2010)
(Saiful Arif)
(umu)
(umu)