PKL ITU ILLEGAL

Cerita haru pedagang kaki lima yang lapaknya dibongkar dan disita Satpol PP, menjadi cerita yang terus berulang dan akan terus terjadi. Resistensi selalu muncul dari PKL, melahirkan konflik fisik terbuka dengan Satpol PP, beberapa diantaranya melahirkan korban, luka-luka hingga meninggal dunia. Namun, Pemkot Surabaya tidak henti-hentinya menerkam PKL.

Padahal kita tahu, sektor informal PKL menjadi sektor penyelamat ekonomi ketika sektor ini mampu bertahan dan memberikan ruang gerak bagi masyarakat kecil untuk tetap mengepulkan asap dapur. Sektor ini pula yang mampu menampung para angkatan kerja yang tidak tertampung di sektor formal maupun yang terusir (PHK) dari sektor formal akibat krisis ekonomi.

Faktanya, ruang gerak PKL terus ditekan hingga hilang sama sekali. Beberapa pusat kota Surabaya telah bersih dari keberadaan PKL. Pemerintah Surabaya terus melahirkan strategi-strategi khusus dan jitu untuk menyingkirkan PKL-PKL ini, mulai dari cara tradisional (obrakan ala Satpol PP) hingga yang akhir-akhir ini digunakan, menggusur dengan taman dan pedestrian.

Harus diakui pendekatan-pendekatan ini nyatanya efektif untuk menyingkirkan PKL, meskipun skema solusi/relokasi belum disiapkan, atau tidak ada sama sekali. Karena yang terpenting adalah wajah kota surabaya menjadi bersih dan tertib. Persoalan apakah wajah cantik itu bisa memberikan makan ratusan ribu keluarga, yang selama ini menggantungkan hidup dari berdagang, atau tidak, bukan menjadi pertimbangan yang terlalu penting.

Bisa dibayangkan, jumlah PKL di Surabaya saat ini mencapai 40.000 dengan omzet rata-rata Rp 1-3 juta perbulan, atau Rp 1,4 trilliun dalam setahun. Sektor ini pun telah menyerap tenaga kerja lebih dari 120.000 pekerja, atau setara dengan keseluruhan populasi penduduk di Kecamatan Sukomanunggal. Pertanyaannya, apakah menciptakan kebersihan dan ketertiban setara dengan itu semua?

Tulisan ini tidak sedang mempertentangkan ‘kebersihan dan ketertiban’ dengan keberadaan PKL. Tetapi ingin menunjukkan bahwa PKL memang illegal di Surabaya.

Secara vulgar, PKL jelas disebut sebagai penyebab terganggunya kelancaran lalu lintas, estetika dan kebersihan kota serta fungsi prasarana lingkungan kota. Hal tersebut terlukis jelas pada konsideran pertama Perda No 17 Tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima yang hingga saat ini masih berlaku. Kalimat detailnya: “bahwa peningkatan jumlah Pedagang Kaki Lima di Surabaya telah berdampak pada terganggunya kelancaran lalu lintas, estetika dan kebersihan Kota serta fungsi prasarana lingkungan kota”.

Konsideran tersebut sesungguhnya menjadi paradigma kebijakan penataan dan pemberdayaan PKL yang dilakukan Pemkot Surabaya hingga hari ini. Karena dianggap sebagai sumber masalah maka keberadaan PKL harus ditata, sehingga eksistensi PKL adalah domain ketertiban. Karena menjadi domain ketertiban maka selamanya PKL akan berhadap-hadapan dengan Satpol PP. Padahal kita tahu, PKL dan Satpol PP adalah kombinasi yang buruk.

Lebih dalam lagi, dalam Perda tersebut mendefinisikan PKL sebagai ‘aktivitas berdagang yang dilakukan di fasilitas umum’. Artinya tanpa di sadari, PKL sesungguhnya sudah di desain telah melanggar hukum, bahkan sejak ia di definisikan. Untuk itu, Pemerintah Kota Surabaya memiliki kekuasaan yang sangat besar atas PKL untuk mengijinkan, memindah, melarang hingga menggusur.

Dua hal tersebut cukup memberikan argumentasi bahwa Perda 17 Tahun 2003 memang tidak untuk mengelola apalagi memberdayakan PKL. Justru, Perda tersebut sepertinya sengaja di desain untuk membenturkan PKL dengan Satpol PP di lapangan. Terbukti sepanjang tahun 2009, lebih dari 380 PKL menjadi korban gusuran tanpa solusi oleh Satpol PP. Kesimpulannya, Perda itulah yang justru menegaskan bahwa PKL adalah illegal.

Apresiasi potensi PKL
Rencana Pemkot Surabaya untuk membangun beberapa sentra PKL perlu diapresiasi, walaupun sesungguhnya belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan PKL, karena sentra-sentra banyak mengakomodir pedagang-pedagang baru. Nyatanya, masih banyak pedagang yang menghuni sentra-sentra PKL yang ada saat ini ternyata bukanlah hasil dari relokasi, tetapi pedagang-pedagang baru yang memiliki modal dan akses untuk membeli/menyewa stan. Artinya, masih begitu banyak PKL di luar sana yang tidak tertampung di sentra-sentra.

Wacana revisi Perda No 17 Tahun 2003 menjadi momentum penting untuk meletakkan kembali PKL pada domainnya yang tepat, yakni ekonomi. Tidak saja pasal per pasal, tetapi juga revisi paradigma pengelolaan dan pemberdayaan PKL.

Setidaknya ada 4 upaya dapat dilakukan untuk mengembalikan PKL pada domain ekonomi, yakni:
Pertama, secara regulasi PKL harus diakui sebagai kekuatan ekonomi masyarakat yang tumbuh secara mandiri dan kreatif. Ia tidak lagi dianggap sebagai sebuah problem sosial, tetapi meletakkannya sebagai potensi ekonomi yang harus dilakukan pengelolaan dan pemberdayaan. Mindset ini penting sebagai paradigma pengelolaan dan pemberdayaan PKL, sehingga PKL menjadi sektor usaha mikro dan kecil yang perlu ditumbuhkan dan dikembangkan menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.

Untuk melakukan ini dibutuhkan kemauan politik yang tinggi, baik di eksekutif maupun legislatif, karena PKL telah begitu lama ditempatkan pada domain yang salah. Mungkin saja banyak yang mendapat keuntungan dari penempatan yang salah ini, dari parkir, pungutan-pungutan, jasa pengamanan, transportasi dan sebagainya; sehingga kelompok-kelompok inilah yang potensial mempertahankan kondisi miss-place ini.

Kedua, Pemkot Surabaya harus memiliki komitmen dan kemauan keras untuk memperbanyak dan memperluas ruang-ruang untuk PKL. Penggunaan fasilitas umum harus dikurangi secara bertahap hingga tidak ada sama sekali, sambil terus meningkatkan ruang-ruang PKL yang representatif dan strategis. Penyediaan lahan tersebut harus memiliki target terukur dan memadai, sejauh mungkin dapat menampung sebanyak-banyaknya PKL yang ada. Untuk hal ini dibutuhkan kemitraan dengan sektor usaha maupun non usaha yang memiliki ‘ruang kosong’ di daerah-daerah strategis agar sebagian bisa ditempati PKL.

Pembangunan sentra-sentra PKL perlu memperhatikan karakter jual-beli PKL, yakni sederhana dan murah. Pembangunan sentra PKL tidak boleh membuat pedagang berpikir untuk menaikkan harga, yang hanya akan membuat pembeli pergi. Sewa stan, retribusi, listrik, air dan fasilitas pendukung lainnya harus ditekan sekecil mungkin, jika memungkinkan digratiskan sama sekali.

Ketiga, melakukan kampanye cerdas kepada masyarakat untuk tidak menjadi konsumen bagi PKL yang tidak tertib yakni yang menggunakan fasilitas umum dan mengabaikan faktor higienitas. Konsumen cerdas merupakan elemen yang penting dalam penataan PKL, sehingga program penataan tidak harus selalu dilakukan dengan cara represif tetapi edukatif.

Keempat, menjalin kerjasama dan mengundang partisipasi kepada semua pihak (sektor usaha, pemerintahan, pendidikan dan masyarakat) untuk menumbuhkan iklim usaha yang sehat bagi PKL. Kerjasama tersebut dapat dijalin dalam aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dan dukungan kelembagaan.


Sektor usaha perlu juga diajak untuk menjadi aktor penting dalam pemberdayaan PKL, terutama sektor usaha perdagangan skala besar, seperti supermarket atau hypermarket. Harus diakui pertumbuhan pasar-pasar modern tidak berbanding lurus dengan perkembangan pasar tradisional (baca: PKL) karena tidak adanya sinergitas antara keduanya, sehingga keduanya hidup dengan rejeki dan perlakuan yang jauh berbeda.


Pelaku sektor usaha, pemerintahan, pendidikan dan masyarakat perlu dirangsang untuk ikut dalam memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan PKL, karena Pemkot Surabaya tentu tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mangakomidir semua PKL yang ada di Surabaya.


Saya yakin jika hal ini tidak segera dilakukan, PKL selamanya tetap akan menjadi pekerjaan yang illegal. Lama-kelamaan, masyarakat tidak lagi bisa membedakan antara PKL dan prostitusi, karena sama-sama selalu dikejar-kejar Satpol PP dan sama-sama sekedar dilokalisasi.


Semoga saja kita akan memiliki walikota baru yang memiliki kemauan, keterampilan dan keberanian yang cukup untuk mendudukkan domain PKL secara benar dan cara yang benar. Karena hingga saat ini belum ada cawali yang memiliki gagasan substansial tentang pemberdayaan PKL, kecuali janji-janji normatif dan klise. (Saiful Arif)

(umu)

Postingan Populer