PENGADILAN NEGERI SURABAYA OVER LOAD
Peristiwa tertidurnya dua Hakim pada suatu persidangan pidana di Pengadilan Negeri Surabaya sangat menggelitik perhatian publik sebagai sebuah insiden hukum yang tidak terlupakan. Bagaimana bisa seorang (dua orang) hakim tertidur pulas ketika sebuah kebenaran sedang diuji dihadapannya?
Lembaga peradilan Pengadilan Negeri Surabaya merupakan ‘dermaga harapan’ para pencari keadilan di Surabaya untuk menemukan keadilan hukum, yakni keadilan yang diperoleh secara cepat, sederhana dan biaya ringan serta kualitas putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Pengadilan Negeri Surabaya memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan hal tersebut.
Tentu ada banyak hal yang menyebabkan pengadilan ini sering kali gagal memenuhi rasa keadilan masyarakat, mulai dari hal-hal yang bersifat teknis hingga yang melibatkan jaringan mafia peradilan. Hal tersebut terpelihara secara baik dan saling berkaitan, sehingga perlahan derajat kewibawaan Pengadilan Negeri Surabaya semakin tergerus.
Tapi tahukah Anda, memang tidak mudah menjadi hakim yang prima di Pengadilan Negeri Surabaya. Selain membutuhkan keteguhan hati nurani, seorang hakim dituntut untuk selalu memiliki stamina fisik dan mental yang sempurna. Jika tidak, seorang hakim tidak saja bisa tertidur di dalam ruang sidang, tapi juga jatuh sakit karena keletihan yang luar biasa. Atau, yang paling sering terjadi, hakim menyidangkan perkara dengan ‘apa adanya’ (baca: asal sidang saja).
Bayangkan saja, tahun 2009 yang lalu Pengadilan Negeri Surabaya menyidangkan setidaknya 206.565 perkara, mulai dari berbagai perkara pidana, korupsi, niaga dan hubungan industrial. Angka tersebut tentu bukan angka yang kecil bagi sebuah pengadilan yang hanya memiliki 33 hakim dan 53 panitera pengganti.
Dengan komposisi itu, maka rata-rata seorang hakim harus menyidangkan setidaknya 313 perkara per hari. Ya...313 perkara per hari!! Dapat dibayangkan betapa beratnya beban seorang hakim untuk mencurahkan semua energinya untuk menyidangkan setiap perkara. Resikonya adalah rendahnya kualitas pertimbangan dan putusan yang dijatuhkan dalam setiap perkara. Keadilan dan kebenaran menjadi taruhannya.
Sangking beratnya, jalannya persidangan hampir selalu berjalan begitu mekanis. Hakim sering kali tidak mendengar atau memperhatikan semua proses persidangan, berlalu begitu saja. Ketika penasehat hukum dan jaksa sedang asik seru-serunya menggali keterangan saksi-saksi, sering kali hakim bersidang dengan tatapan kosong, cuek dengan apa yang sedang diperdebatkan.
Terlebih pada perkara-perkara ‘kering’ yang biasa melibatkan masyarakat miskin, persidangan sering kali dilakukan secara borongan, sekali sidang memeriksa 10 hingga 15 orang terdakwa sekaligus. Nyaris tidak ada komunikasi antara hakim dan terdakwa. Bahkan, proses pemeriksaan tanpa dilakukan dengan pembuktian sama sekali. Bagaimana proses persidangan seperti ini dapat menghasilkan keadilan yang adil?
Pada perkara-perkara kering ini justru paling sering terjadi pelanggaran prosedur dan kode etik pesidangan hingga permainan uang tanpa ada resiko diketahui publik, karena umumnya prosesnya jauh dari pantauan publik, atau sengaja dibuat berjarak dengan pantauan publik, misalnya, sidang menjelang larut sore atau disidangkan ditempat/ruang yang tidak terpantau.
Jika selama ini pemantauan peradilan hanya dilakukan pada kasus-kasus besar, seperti korupsi dan kejahatan yang melibatkan publik, nampaknya pemantauan juga perlu dilakukan terhadap proses persidangan terhadap perkara-perkara ‘kecil’ yang justru luput dari perhatian publik. Di sini praktek mafia peradilan dilakukan secara eceran. Banyak orang menyebutnya sebagai mafia ketengan.
Pungutan maupun pemerasan sengaja dilakukan dalam skala kecil-kecilan untuk menghindari radar publik dengan rentang 1-10 juta. Korbannya adalah masyarakat miskin yang terlibat dalam tindak kriminal, mulai dari tawaran untuk mengurangi pasal, bergain penangguhan penahanan, kunjungan hingga rekayasa kesaksian. Dengan hiruk pikuknya Pengadilan Negeri Surabaya, hal-hal tersebut sangat mudah dilakukan oleh para mafia ketengan ini, baik yang melibatkan jaksa, pengacara, hakim hingga panitera.
Hal ini jelas bukan persoalan sepele ketika hal yang dianggap teknis ternyata sangat berpengaruh pada akurasi keadilan yang dihasilkan oleh setiap hakim. Sehingga buruknya kualitas putusan pengadilan banyak pula diakibatkan kondisi overload yang sepertinya sengaja dipertahankan untuk mempermudah atau dimanfaatkan orang-orang untuk melakukan aktivitas-aktivitas mafia peradilan dalam skala besar maupun kecil-kecilan.
Cita-cita peradilan bersih tidak dapat dilakukan dengan resep tunggal pemberantasan mafia peradilan yang selama ini dilakukan secara reaktif dan kasuistik, bahkan ceremonial. Reformasi birokrasi adalah agenda yang urgen untuk menata kembali birokrasi lembaga peradilan yang dapat menjangkau persoalan teknis administrasi hingga proses dan hasil putusan. Secara internal, Pengadilan Negeri Surabaya harus segera membangun sistem pengawasan internal yang efektif.
Beberapa langkah positif telah dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk mendorong lembaga pengadilan menjadi sebuah institusi yang transparan dan akuntabel dengan mengeluarkan SK MA No 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Peradilan. Namun hingga saat ini, Pengadilan Negeri Surabaya tidak dapat melaksanakannya dengan baik. Padahal semangat dari SK MA tersebut adalah menciptakan kontrol publik, yakni dengan membangun transparansi dan akuntabilitas lembaga peradilan.
Perangkat-perangkat media informasi yang tersedia hanya menjadi pajangan, sehingga tidak banyak manfaat yang didapat masyarakat dari adanya perangkat-perangkat tersebut. Lain halnya apabila terdapat kunjungan dari Mahkamah Agung atau dari lembaga funding, perangkat-perangkat itu tiba-tiba ada dan berfungsi.
Pengadilan Negeri Surabaya harus segera berbenah, jika memang terdapat keinginan luhur untuk menciptakan Pengadilan Negeri Surabaya sebagai court of execelent. Terlebih, dalam waktu dekat beban Pengadilan Negeri Surabaya bertambah dengan dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jika tidak, kita patut khawatir akan banyak koruptor yang justru lepas di pengadilan ini.
Pembenahan ini penting agar PN Surabaya tidak terus bergelut dengan kondisi yang compang-camping. Institusi yang seharusnya bisa memproduksi keadilan, justru akan menjadi ladang untuk semakin membenamkan masyarakat pencari keadilan ke dalam kubang ketidakadilan. Cepatlah berbenah. (Saiful Arif)
Lembaga peradilan Pengadilan Negeri Surabaya merupakan ‘dermaga harapan’ para pencari keadilan di Surabaya untuk menemukan keadilan hukum, yakni keadilan yang diperoleh secara cepat, sederhana dan biaya ringan serta kualitas putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Pengadilan Negeri Surabaya memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan hal tersebut.
Tentu ada banyak hal yang menyebabkan pengadilan ini sering kali gagal memenuhi rasa keadilan masyarakat, mulai dari hal-hal yang bersifat teknis hingga yang melibatkan jaringan mafia peradilan. Hal tersebut terpelihara secara baik dan saling berkaitan, sehingga perlahan derajat kewibawaan Pengadilan Negeri Surabaya semakin tergerus.
Tapi tahukah Anda, memang tidak mudah menjadi hakim yang prima di Pengadilan Negeri Surabaya. Selain membutuhkan keteguhan hati nurani, seorang hakim dituntut untuk selalu memiliki stamina fisik dan mental yang sempurna. Jika tidak, seorang hakim tidak saja bisa tertidur di dalam ruang sidang, tapi juga jatuh sakit karena keletihan yang luar biasa. Atau, yang paling sering terjadi, hakim menyidangkan perkara dengan ‘apa adanya’ (baca: asal sidang saja).
Bayangkan saja, tahun 2009 yang lalu Pengadilan Negeri Surabaya menyidangkan setidaknya 206.565 perkara, mulai dari berbagai perkara pidana, korupsi, niaga dan hubungan industrial. Angka tersebut tentu bukan angka yang kecil bagi sebuah pengadilan yang hanya memiliki 33 hakim dan 53 panitera pengganti.
Dengan komposisi itu, maka rata-rata seorang hakim harus menyidangkan setidaknya 313 perkara per hari. Ya...313 perkara per hari!! Dapat dibayangkan betapa beratnya beban seorang hakim untuk mencurahkan semua energinya untuk menyidangkan setiap perkara. Resikonya adalah rendahnya kualitas pertimbangan dan putusan yang dijatuhkan dalam setiap perkara. Keadilan dan kebenaran menjadi taruhannya.
Sangking beratnya, jalannya persidangan hampir selalu berjalan begitu mekanis. Hakim sering kali tidak mendengar atau memperhatikan semua proses persidangan, berlalu begitu saja. Ketika penasehat hukum dan jaksa sedang asik seru-serunya menggali keterangan saksi-saksi, sering kali hakim bersidang dengan tatapan kosong, cuek dengan apa yang sedang diperdebatkan.
Terlebih pada perkara-perkara ‘kering’ yang biasa melibatkan masyarakat miskin, persidangan sering kali dilakukan secara borongan, sekali sidang memeriksa 10 hingga 15 orang terdakwa sekaligus. Nyaris tidak ada komunikasi antara hakim dan terdakwa. Bahkan, proses pemeriksaan tanpa dilakukan dengan pembuktian sama sekali. Bagaimana proses persidangan seperti ini dapat menghasilkan keadilan yang adil?
Pada perkara-perkara kering ini justru paling sering terjadi pelanggaran prosedur dan kode etik pesidangan hingga permainan uang tanpa ada resiko diketahui publik, karena umumnya prosesnya jauh dari pantauan publik, atau sengaja dibuat berjarak dengan pantauan publik, misalnya, sidang menjelang larut sore atau disidangkan ditempat/ruang yang tidak terpantau.
Jika selama ini pemantauan peradilan hanya dilakukan pada kasus-kasus besar, seperti korupsi dan kejahatan yang melibatkan publik, nampaknya pemantauan juga perlu dilakukan terhadap proses persidangan terhadap perkara-perkara ‘kecil’ yang justru luput dari perhatian publik. Di sini praktek mafia peradilan dilakukan secara eceran. Banyak orang menyebutnya sebagai mafia ketengan.
Pungutan maupun pemerasan sengaja dilakukan dalam skala kecil-kecilan untuk menghindari radar publik dengan rentang 1-10 juta. Korbannya adalah masyarakat miskin yang terlibat dalam tindak kriminal, mulai dari tawaran untuk mengurangi pasal, bergain penangguhan penahanan, kunjungan hingga rekayasa kesaksian. Dengan hiruk pikuknya Pengadilan Negeri Surabaya, hal-hal tersebut sangat mudah dilakukan oleh para mafia ketengan ini, baik yang melibatkan jaksa, pengacara, hakim hingga panitera.
Hal ini jelas bukan persoalan sepele ketika hal yang dianggap teknis ternyata sangat berpengaruh pada akurasi keadilan yang dihasilkan oleh setiap hakim. Sehingga buruknya kualitas putusan pengadilan banyak pula diakibatkan kondisi overload yang sepertinya sengaja dipertahankan untuk mempermudah atau dimanfaatkan orang-orang untuk melakukan aktivitas-aktivitas mafia peradilan dalam skala besar maupun kecil-kecilan.
Cita-cita peradilan bersih tidak dapat dilakukan dengan resep tunggal pemberantasan mafia peradilan yang selama ini dilakukan secara reaktif dan kasuistik, bahkan ceremonial. Reformasi birokrasi adalah agenda yang urgen untuk menata kembali birokrasi lembaga peradilan yang dapat menjangkau persoalan teknis administrasi hingga proses dan hasil putusan. Secara internal, Pengadilan Negeri Surabaya harus segera membangun sistem pengawasan internal yang efektif.
Beberapa langkah positif telah dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk mendorong lembaga pengadilan menjadi sebuah institusi yang transparan dan akuntabel dengan mengeluarkan SK MA No 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Peradilan. Namun hingga saat ini, Pengadilan Negeri Surabaya tidak dapat melaksanakannya dengan baik. Padahal semangat dari SK MA tersebut adalah menciptakan kontrol publik, yakni dengan membangun transparansi dan akuntabilitas lembaga peradilan.
Perangkat-perangkat media informasi yang tersedia hanya menjadi pajangan, sehingga tidak banyak manfaat yang didapat masyarakat dari adanya perangkat-perangkat tersebut. Lain halnya apabila terdapat kunjungan dari Mahkamah Agung atau dari lembaga funding, perangkat-perangkat itu tiba-tiba ada dan berfungsi.
Pengadilan Negeri Surabaya harus segera berbenah, jika memang terdapat keinginan luhur untuk menciptakan Pengadilan Negeri Surabaya sebagai court of execelent. Terlebih, dalam waktu dekat beban Pengadilan Negeri Surabaya bertambah dengan dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jika tidak, kita patut khawatir akan banyak koruptor yang justru lepas di pengadilan ini.
Pembenahan ini penting agar PN Surabaya tidak terus bergelut dengan kondisi yang compang-camping. Institusi yang seharusnya bisa memproduksi keadilan, justru akan menjadi ladang untuk semakin membenamkan masyarakat pencari keadilan ke dalam kubang ketidakadilan. Cepatlah berbenah. (Saiful Arif)
(Dimuat di Jawa Pos, 20 April 2010)
(umu)
(umu)