HAM DAN ALIRAN SESAT
Jawa Timur adalah pemasok terbesar kasus aliran-aliran keyakinan di Indonesia sepanjang tahun 2009-2010, dengan 24 kasus atau 30% dari keseluruhan kasus secara nasional. Kultur yang majemuk, menjadikan Jawa Timur menjadi tempat yang subur tumbuhnya berbagai macam aliran-aliran keyakinan non-mainstream.
Di Mojokerto lahir kelompok ajaran Santriloka yang tidak mempercayai nabi. Di Blitar ada aliran Danung Urip yang meyakini bisa menjamin jemaahnya masuk surga. Di Situbondo muncul Brayat Agung, mengajarkan bahwa sholat tidak wajib dan melarang ritual puasa. Di Mojokerto lahir ajaran Saksi Yehova yang mengingkari ketuhanan Yesus. Ada juga aliran Children of God yang meyakini bahwa Yesus adalah hasil hubungan biologis antara Allah dengan Maria. Sayangnya, munculnya aliran-aliran baru tersebut selalu melahirkan konflik penyesatan yang melibatkan kelompok-kelompok mayoritas dan minoritas.
Konflik penyesatan biasa dimulai dengan adanya fatwa atau stigma sesat atas suatu ajaran yang dianggap menyimpang, yang kemudian mengundang reaksi publik. Apabila menyangkut kemurnian/kesucian simbol-simbol keagaamaan, sensitifitas publik akan terusik dan berubah menjadi emosional, kemudian bergeser menjadi dorongan untuk berlaku anarkis, intimidasi, ancaman, makian kebencian, pengusiran, penganiayaan, perusakan hingga pembakaran. Selanjutnya bergerak ke wilayah pidana dan pemenjaraan.
Masyarakat majemuk?
Di Mojokerto lahir kelompok ajaran Santriloka yang tidak mempercayai nabi. Di Blitar ada aliran Danung Urip yang meyakini bisa menjamin jemaahnya masuk surga. Di Situbondo muncul Brayat Agung, mengajarkan bahwa sholat tidak wajib dan melarang ritual puasa. Di Mojokerto lahir ajaran Saksi Yehova yang mengingkari ketuhanan Yesus. Ada juga aliran Children of God yang meyakini bahwa Yesus adalah hasil hubungan biologis antara Allah dengan Maria. Sayangnya, munculnya aliran-aliran baru tersebut selalu melahirkan konflik penyesatan yang melibatkan kelompok-kelompok mayoritas dan minoritas.
Konflik penyesatan biasa dimulai dengan adanya fatwa atau stigma sesat atas suatu ajaran yang dianggap menyimpang, yang kemudian mengundang reaksi publik. Apabila menyangkut kemurnian/kesucian simbol-simbol keagaamaan, sensitifitas publik akan terusik dan berubah menjadi emosional, kemudian bergeser menjadi dorongan untuk berlaku anarkis, intimidasi, ancaman, makian kebencian, pengusiran, penganiayaan, perusakan hingga pembakaran. Selanjutnya bergerak ke wilayah pidana dan pemenjaraan.
Masyarakat majemuk?
Negara Indonesia sejatinya didesain sebagai sebuah bangsa yang majemuk, dimana berbagai jenis kelompok suku, agama dan ras yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan dalam satu bendera merah putih. Namun seiring banyaknya kasus-kasus aliran ‘sesat’, banyak dari kita yang terjebak dalam konflik penyesatan ini, seolah-olah kita adalah bangsa yang tidak terbiasa memiliki perbedaan.
Kriminalisasi sering menjadi pilihan utama dalam menyikapi perbedaan keyakinan seseorang, meskipun kriminalisasi tidak pernah berhasil merubah keyakinan dan keimanan seseorang. Lihat saja, banyak kelompok ‘sesat’ yang dipaksa bertobat, tetap melaksanakan meyakini dan menjalankan ajarannya meskipun telah menjalani hukuman penjara.
Dari sekian banyak kasus ajaran ‘sesat’ yang selama ini ada, kriminalisasi sudah terlalu jauh masuk ke dalam keyakinan internum seseorang, yang semestinya keyakinan internum ini adalah ruang steril yang tidak dapat dibatasi oleh apapun dan siapapun serta dalam kondisi apapun. Sehingga keyakinan dalam level internum ini, harus dihargai dan dihormati sebagai sesuatu yang azasi.
Bahkan negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin tidak ada aktor non-negara lainnya yang melakukan gangguan, pengurangan atau pembatasan atas kebebasan internum ini.
Artinya negara tidak dapat mempidanakan seseorang hanya karena ia meyakini bahwa ada nabi lagi setelah nabi ke-25, atau meyakini bahwa seseorang adalah jelmaan malaikat, atau meyakini bahwa sholat dengan bahasa non-Arab adalah benar. Dalam konteks keyakinan agama tertentu, mungkin hal tersebut adalah sesat dan bahkan kafir; tetapi negara tidak dapat dijadikan alat bagi kelompok-kelompok tertentu untuk memenjarakan seseorang yang dianggap sesat tersebut dan memaksa seseorang itu untuk ‘bertobat’.
Alih-alih negara melindungi kebebasan internum ini, negara seolah menyerahkan dirinya begitu saja untuk dijadikan alat bagi kelompok mayoritas untuk mempidanakan kelompok-kelompok yang dianggap ‘sesat’. Seolah negara pun percaya bahwa pemenjaraan dapat merubah keimanan seseorang.
Dalam konteks HAM, kebebasan beragama adalah kebebasan yang non-derogable, artinya tidak dapat dikurangi/dibatasi oleh negara. Kebebasan ini menjadi hak yang melekat, yang dapat di-eksplorasi sejauh mungkin oleh pemiliknya. Sungguhpun demikian, kebebasan ini memiliki pembatasan ketika kebebasan internum diekspresikan secara eksternal.
Dalam kovenan internasional hak sipol, yang telah diratifikasi dalam undang-undang No 12 Tahun 2005, pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dengan 2 (dua) syarat yakni dilakukan dengan undang-undang dan hal tersebut dipandang perlu untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Dari sekian banyak kasus penyesatan/kriminalisasi ajaran yang ada selama ini, adakah kita pernah menguji dengan seksama apakah pelarangan/penyesatan/kriminalisasi ajaran-ajaran yang terjadi selama ini adalah dalam konteks pembatasan yang dapat dibenarkan dalam HAM tersebut? Sepertinya tidak.
Aliran ‘sesat’
Kriminalisasi sering menjadi pilihan utama dalam menyikapi perbedaan keyakinan seseorang, meskipun kriminalisasi tidak pernah berhasil merubah keyakinan dan keimanan seseorang. Lihat saja, banyak kelompok ‘sesat’ yang dipaksa bertobat, tetap melaksanakan meyakini dan menjalankan ajarannya meskipun telah menjalani hukuman penjara.
Dari sekian banyak kasus ajaran ‘sesat’ yang selama ini ada, kriminalisasi sudah terlalu jauh masuk ke dalam keyakinan internum seseorang, yang semestinya keyakinan internum ini adalah ruang steril yang tidak dapat dibatasi oleh apapun dan siapapun serta dalam kondisi apapun. Sehingga keyakinan dalam level internum ini, harus dihargai dan dihormati sebagai sesuatu yang azasi.
Bahkan negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin tidak ada aktor non-negara lainnya yang melakukan gangguan, pengurangan atau pembatasan atas kebebasan internum ini.
Artinya negara tidak dapat mempidanakan seseorang hanya karena ia meyakini bahwa ada nabi lagi setelah nabi ke-25, atau meyakini bahwa seseorang adalah jelmaan malaikat, atau meyakini bahwa sholat dengan bahasa non-Arab adalah benar. Dalam konteks keyakinan agama tertentu, mungkin hal tersebut adalah sesat dan bahkan kafir; tetapi negara tidak dapat dijadikan alat bagi kelompok-kelompok tertentu untuk memenjarakan seseorang yang dianggap sesat tersebut dan memaksa seseorang itu untuk ‘bertobat’.
Alih-alih negara melindungi kebebasan internum ini, negara seolah menyerahkan dirinya begitu saja untuk dijadikan alat bagi kelompok mayoritas untuk mempidanakan kelompok-kelompok yang dianggap ‘sesat’. Seolah negara pun percaya bahwa pemenjaraan dapat merubah keimanan seseorang.
Dalam konteks HAM, kebebasan beragama adalah kebebasan yang non-derogable, artinya tidak dapat dikurangi/dibatasi oleh negara. Kebebasan ini menjadi hak yang melekat, yang dapat di-eksplorasi sejauh mungkin oleh pemiliknya. Sungguhpun demikian, kebebasan ini memiliki pembatasan ketika kebebasan internum diekspresikan secara eksternal.
Dalam kovenan internasional hak sipol, yang telah diratifikasi dalam undang-undang No 12 Tahun 2005, pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dengan 2 (dua) syarat yakni dilakukan dengan undang-undang dan hal tersebut dipandang perlu untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Dari sekian banyak kasus penyesatan/kriminalisasi ajaran yang ada selama ini, adakah kita pernah menguji dengan seksama apakah pelarangan/penyesatan/kriminalisasi ajaran-ajaran yang terjadi selama ini adalah dalam konteks pembatasan yang dapat dibenarkan dalam HAM tersebut? Sepertinya tidak.
Aliran ‘sesat’
Paling tidak 3 tahun terakhir, lahir berbagai macam aliran keagamaan yang berbeda atau menyimpang dengan ajaran-ajaran pokok agama. Aliran keagamaan baru ini sebagian telah terlanjur di-cap sebagai sesat, sebagian masuk dalam daftar pengawasan BAKOR PAKEM dan selebihnya telah resmi dibubarkan.
Di belahan dunia lain, aliran-aliran ‘sesat’ ini juga dialami oleh semua agama-agama besar, seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, Shinto, Sikh, Zoroaster dan seterusnya. Nyaris tidak ada agama yang bebas dari fenomena aliran-aliran nyeleneh.
Di Indonesia, lahirnya ajaran-ajaran baru hampir selalu disikapi negatif, apriori dan dikriminalkan. Sikap ini menegasikan realitas bahwa lahirnya ajaran-ajaran baru akan tetap muncul dari mana saja dan kapan saja, tidak peduli apakah disukai atau tidak.
Dari sekian banyak aliran-aliran baru, masing-masing memiliki sifat, kultur, tradisi, ajaran, ritual dan gaya hidup yang berbeda-beda. Kita seharusnya melihatnya sebagai fenomena sosial yang lumrah-lumrah saja, tidak ada yang perlu disikapi secara berlebihan apalagi emosional, sepanjang kehadirannya tidak melampaui 2 pembatasan HAM di atas. Eksistensinya sebagai sebuah agama atau ajaran akan hilang dengan sendirinya apabila masyarakat tidak kunjung memperoleh keuntungan spiritualitas dari agama/ajaran tersebut. (Saiful Arif)
Di belahan dunia lain, aliran-aliran ‘sesat’ ini juga dialami oleh semua agama-agama besar, seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, Shinto, Sikh, Zoroaster dan seterusnya. Nyaris tidak ada agama yang bebas dari fenomena aliran-aliran nyeleneh.
Di Indonesia, lahirnya ajaran-ajaran baru hampir selalu disikapi negatif, apriori dan dikriminalkan. Sikap ini menegasikan realitas bahwa lahirnya ajaran-ajaran baru akan tetap muncul dari mana saja dan kapan saja, tidak peduli apakah disukai atau tidak.
Dari sekian banyak aliran-aliran baru, masing-masing memiliki sifat, kultur, tradisi, ajaran, ritual dan gaya hidup yang berbeda-beda. Kita seharusnya melihatnya sebagai fenomena sosial yang lumrah-lumrah saja, tidak ada yang perlu disikapi secara berlebihan apalagi emosional, sepanjang kehadirannya tidak melampaui 2 pembatasan HAM di atas. Eksistensinya sebagai sebuah agama atau ajaran akan hilang dengan sendirinya apabila masyarakat tidak kunjung memperoleh keuntungan spiritualitas dari agama/ajaran tersebut. (Saiful Arif)
(umu)