HAK ATAS KEADILAN : MEMIMPIKAN PERADILAN YANG CEPAT, SEDERHANA DAN BIAYA

A. Pengantar
Sengketa dan konflik merupakan dua hal yang lazim dialami oleh manusia di dunia, ia selalu melahirkan pihak korban yang secara naluri akan berusaha dan berjuang untuk setidaknya merebut kembali hak-haknya yang direbut, diganggu atau dilanggar oleh pihak lain; baik yang dilakukan oleh individu, lembaga atau bahkan oleh negara / pemerintahan. Pada jaman purba, upaya untuk mempertahankan hak sering kali dilakukan dengan cara perang atau konflik fisik secara terbuka, tanpa aturan main dan tanpa wasit yang menengahi konflik tersebut. Praktis penyelesaian konflik dengan skema demikian lebih sering berakhir dengan penderitaan bahkan kematian di salah satu pihak, siapa yang kuat dia yang menang; sedangkan kasus-nya sendiri tidak terselesaikan dengan tuntas.

Di era Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono, hukum dan keadilan tentu saja masih menjadi dahaga masyarakat Indonesia, dimana hukum dan keadilan begitu susahnya diperoleh dan begitu mahalnya digapai. Lembaga peradilan begitu menjelma menjadi forum yang elit dan eksklusif bagi masyarakat atas yang secara ekonomi mampu menyentuh lembaga peradilan, sedangkan yang miskin disarankan untuk tidak bersentuhan dengan lembaga peradilan karena selain belum tentu mendapat keadilan, biaya tinggi sudah pasti harus mereka tanggung.


Seberapa purba-kah hukum dan keadilan di Indonesia ?

Tulisan ini tidak dalam kapasitas untuk memberikan solusi penegakan hukum yang sedemikian rumitnya, namun sekedar memotret wajah buram hukum dan lembaga peradilan dalam memproduksi keadilan, melalui frame hak azasi manusia.

B. Keadilan adalah Hak Azasi
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan, dalam iklim kesetaraan, keadilan dan kesejahteraan untuk mewujudkan segala kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Sehingga memberikan kepastian mendapat sebuah akses terhadap keadilan menjadi suatu keharusan yang harus diciptakan, agar diperoleh sebuah keadilan hukum yang secara substansi dan prosedur memenuhi rasa keadilan

Masalah akses mendapat keadilan (acces to justice), tidak terbatas pada bantuan hukum (legal aid) bagi si miskin, sehingga problem akses terhadap keadilan merupakan masalah yang tidak mudah diuraikan. Hal ini disebabkan karena masalah akses mendapatkan keadilan bukan hanya masalah hukum semata melainkan juga masalah politik, bahkan lebih jauh lagi adalah masalah budaya. Persoalannya bertambah rumit apabila kita melihatnya dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang semakin luas, tingkat buta huruf yang tinggi, dan keadaan kesehatan yang buruk[1].

Sebuah kenyataan yang nyata bila hukum dan politik menjadi porsi istimewa bagi masyarakat tertentu saja, karena hukum telah menjadi subordinat yang menyakitkan bagi masyarakat lemah, secara ekonomi, sosial maupun politik. Di sisi yang lain keadilan merupakan kebutuhan hakiki manusia, maka menciptakan ruang yang luas terhadap keadilan dan hukum adalah keharusan, disamping kewajiban untuk menciptakan suatu mekanisme penegakan hukum dan peradilan yang adil, terbuka dan pasti.

Pasal 14 Kovenan Hak Sipil Dan Politik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan bantuan hukum jika kepentingan keadilan menghendaki demikian. Untuk pemenuhan hak tersebut, menurut pertimbangan Kovenan PBB tersebut, maka negara wajib untuk memajukan penghormatan universal dan ketaatan terhadap HAM dan kebebasan. Kewajiban tersebut antara lain berupa kewajiban untuk menghormati (to respect), kewajiban untuk memenuhi (to fulfill), dan kewajiban untuk melindungi (to protect). Kewajiban tersebut termasuk kewajiban untuk melindungi, memenuhi dan menghormati hak atas keadilan.

Akses rakyat untuk mendapatkan keadilan akan terhambat, apabila negara mengabaikan tanggungjawabnya untuk memenuhi, menghormati dan melindungi hak atas keadilan. Hak atas keadilan tidak boleh dipahami sebagai sebuah program pemerintah untuk meraih simpati masyarakat miskin, tetapi harus betul-betul dipahami sebagai suatu hak disatu pihak dan kewajiban dipihak lain. Jaminan hukum hak atas keadilan merupakan sesuatu yang penting, di mana jaminan hukum harus didukung juga dengan politik penegakan hukum yang tegas dan konsisten, melalui budaya hukum yang dibangun secara terus menerus baik dari pihak penegak hukum sendiri maupun dari masyarakat.

C. Peradilan Indonesia Memproduksi Keadilan Biaya Tinggi
Lembaga peradilan merupakan ‘dermaga harapan’ para pencari keadilan untuk menemukan keadilan hukum. Namun kenyataannya, alih-alih memproduksi keadilan, lembaga peradilan justru lebih sering menjadi ladang subur praktek-praktek ketidakadilan, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi.

Demikianlah wajah lembaga peradilan Indonesia yang hingga saat ini menjadi satu persoalan yang sampai saat ini tidak pernah terselesaikan. Menjadi sebuah kebobrokan yang sempurna karena melibatkan semua aktor di dalamnya, mulai dari aparat pemerintahan, polisi, jaksa, advokat, hakim dan panitera bahkan juga menjangkiti para pencari keadilan itu sendiri, yang secara langsung maupun tidak secara langsung berusaha mempengaruhi keputusan hakim.

Praktek-praktek mafia peradilan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas semakin tersistematis, canggih serta daya lingkupnya. Sudah menjadi rahasia umum suatu perkara perdata atau pidana apapun dasarnya dapat diatur oleh pemesan mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan hingga eksekusi vonis.


Dalam perkara pidana umum misalnya, praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh

mafia peradilan di tingkat penyelidikan akan mencegah suatu kasus meningkat statusnya menjadi penyidikan (kepolisian). Uang ”damai” yang diberikan oleh seorang tersangka kepada penyidik (polisi) akan membuat kasusnya tidak sampai pada tingkat penuntutan (kejaksaan). Sedangkan korban perlu untuk memberikan uang ‘lelah’ agar polisi lebih serius meneruskan penyidikan hingga ke tingkat penuntutan. Sejatinya korban dan tersangka telah menjadi korban permainan kanan-kiri ok pada proses penyidikan.

Demikian pula jaksa akan memperpanjang proses penyidikan sambil menunggu uang ”pelicin” yang harus diberikan oleh tersangka, atau dengan cara lain jaksa juga dapat menawarkan tuntutan yang lebih ringan apabila tersangka memberikan sejumlah uang. Dalam modus operandi seperti ini tidak hanya melibatkan jaksa dan tersangka saja, tapi juga advokat yang mendampinginya selama pemeriksaan. Kepentingan dan rasa keadilan korban tidak lagi menjadi pertimbangan yang penting, karena menurut sistem hukum pidana semua sudah telah menjadi kekuasaan jaksa.

Sedangkan dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi misalnya, jaksa yang memiliki wewenang untuk mengubah status saksi menjadi tersangka, dapat merubah status untuk meringankan tersangka, misalnya menjadi saksi saja, terdakwa saja atau terdakwa yang berstatus tahanan kota, tahanan rumah atau tidak ditahan sama sekali. Salah satu modus yang juga paling banyak digunakan adalah melepaskan tersangka dengan cara menghentikan penyidikan. Ketika akhirnya tersangka sampai juga diajukan ke meja hijau, maka tersangka akan dihadapkan dengan masalah adanya uang ”proses” di bagian administrasi pengadilan dan masalah pemilihan majelis hakim yang dalam hal ini dapat ”diatur” oleh pengacara yang sudah memiliki hubungan baik dengan kalangan hakim.

Lalu, ketika perkara sudah sampai pada putusan maka tidak tertutup kemungkinan untuk berkolusi dengan hakim. Negosiasi dilakukan untuk menentukan jumlah uang yang harus disediakan oleh pengacara atau terdakwa. Modus yang dilakukan sangat beragam, bisa melalui jaksa, panitera atau langsung dengan hakimnya sendiri. Selain itu, jalannya sidang juga dapat diselenggarakan pada pukul 08.00 pagi saat pengadilan masih sepi, tapi kemudian vonis sudah dijatuhkan dan berita acara langsung ditandatangani oleh hakim, jaksa, panitera dan pengacara.

Pola lainnya yang digunakan untuk membayar hakim adalah dengan mengundang hakim yang bersangkutan sebagai pembicara dalam sebuah seminar hukum. Menurut ICW, ada hakim di Jakarta yang menerima honor sebagai pembicara sebuah seminar Rp 300 juta. Dengan demikian, seminar hukum hanya digunakan sebagai kedok dan biasanya seminar tersebut pun diselenggarakan oleh firma hukum atau LSM yang dimiliki oleh pengacara yang bersangkutan.

Kita menyebutnya dengan mafia peradilan untuk menggambarkan fenomena bobroknya peradilan kita. Mafia dapat diartikan sebagai kekuatan terselubung. Kekuatan terselubung sendiri dimaksudkan relasi antar aktor yang ilegal yang bersifat sistematis, konspiratif dan kolektif hingga mendorong terjadinya pelanggaran HAM. Sedangkan peradilan adalah proses penegakan / implementasi hukum oleh lembaga penegak hukum (polisi, advokat, jaksa, hakim dan panitera). Sehingga dari dua definisi tersebut mafia peradilan dapat diartikan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif, yang dilakukan oleh aktor tertentu yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga mendorong terjadinya pelanggaran HAM.

Praktek mafia peradilan tersebut setidaknya mempengaruhi 4 hal :
Pertama, prosedur-prosedur beracara yang rumit dan berbelit-belit membuat proses pencarian keadilan di forum-forum hukum menjadi tidak sederhana dan sulit dipahami, mengakibatkan rendahnya kemandirian dan keberanian masyarakat marjinal untuk bersentuhan dengan institusi-institusi hukum.

Kedua, proses hukum menjadi penuh intrik, rekayasa dan tipu daya, baik secara substansi maupun prosedur penegakannya, mengakibatkan proses penegakan hukum berjalan begitu panjang/lama dan penuh lika-liku yang tidak perlu. Sehingga baik korban maupun tersangka sama-sama aka dikuras tenaga, pikiran dan waktu untuk sekedar menanti keputusan lembaga peradilan yang belum tentu juga nantinya mencerminkan rasa keadilan bagi mereka.

Ketiga, praktek jual beli dan konspirasi keadilan yang telah membudaya tersebut, bahkan relatif dianggap wajar, melahirkan biaya-biaya siluman di luar biaya formal dalam jumlah yang sangat besar, yang harus ditanggung oleh para masyarakat marjinal dan masyarakat pencari keadilan pada umumnya.

Keempat, kondisi demikian melahirkan ketidakmampuan dan pesimisme bahkan apatisme masyarakat marjinal untuk beracara di institusi-institusi hukum. Konsekuensinya adalah hak atas keadilan (yang merupakan bagian dari hak azasi manusia) masyarakat marjinal harus terdegradasi oleh praktek-praktek mafia peradilan.

Terminologi kaum marjinal mencakup tidak saja kaum miskin kota, buruh, perempuan, petani, nelayan, tapi juga kelompok minoritas agama dan etnis, buruh migran dan lain-lain. Mereka merupakan kelompok masyarakat yang secara struktural dilemahkan akses-akses keadilannya, termasuk hak mereka untuk memperjuangkan hak-hak hukumnya.

Pasal 10 Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia menyatakan bahwa “Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka dan pengadilan yang bebas dan tidak memihak”.

Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 17 menyebutkan bahwa setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif  oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.

Di sisi yang lain, terdapat fakta empirik bahwa masyarakat marjinal memiliki ruang yang sangat sempit dan kemampuan yang sangat rendah untuk dapat memperjuangkan hak-haknya di forum-forum hukum akibat praktek-praktek mafia peradilan (jual beli perkara, birokrasi korup, pungutan, percaloan, diskriminasi, intimidasi, kekerasan, pemerasan, suap, rekayasa putusan dan lain-lain). Sehingga di lembaga peradilan, masyarakat marjinal justru kehilangan hak-haknya.

Paradoks dengan Undang-undang No 35 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Padahal secara nyata peradilan Indonesia berjalan begitu rumit, lambat dan mahal; lalu bagaimana masyarakat marjinal dapat menemukan keadilan di lembaga peradilan Indonesia ?


D. PENUTUP
Praktek mafia peradilan di Indonesia bukan terjadi begitu saja, ia terbentuk oleh budaya hukum yang terbangun sejak lama dan begitu mengakar dari proses pembentukan hukum itu sendiri yang sarat dengan tarik ulur kepentingan politik dan ekonomi, model perekrutan aparat penegak hukum itu sendiri yang hingga saat ini selalu diwarnai oleh praktek curang dan suap, hingga budaya hukum negatif yang secara tidak langsung ‘diajarkan’ kepada masyarakat bahwa hukum dan keadilan bukan sesuatu yang murah. Semua terakumulasi ke dalam praktek penegakan hukum Indonesia saat ini yang jauh dari rasa keadilan masyarakat.

Tidak harus menjadi putus asa menyaksikan rumitnya menemukan keadilan di lembaga peradilan Indonesia, tapi memang bukan pekerjaan yang ringan untuk mewujudkan sebuah peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan serta kualitas putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Yang pasti mafia peradilan tidak bisa dibiarkan terus menerus, harus ada langkah berani untuk memutus mata rantai mafia peradilan yang sudah sedemikian mengakar.

Akhirnya, untuk menciptakan hukum yang full justice tidak dapat dilakukan dengan hanya menciptakan sebuah “medan perang” bagi para pencari keadilan dan membiarkan para pencari keadilan bertarung vis a vis secara brutal; karena jauh di sana para petani, nelayan, buruh, masyarakat miskin kota, tukang becak, anak jalanan, pemulung, dan sahabat-sahabat kita, masih bergulat hebat dengan kemiskinannya; kemiskinan ekonomi, hukum dan politik bahkan lebih jauh lagi adalah budaya. Padahal kita tahu bahwa hak atas keadilan adalah hak azasi manusia.

Kembali ke pertanyaan awal, seberapa purba-kah hukum dan keadilan di Indonesia ?

-------------------




[1] Adnan Buyung Nasution

(umu)

Postingan Populer